Dalam bincang buku (28/06) yang diselenggarakan oleh Pustaka Pena Solo ini, dihadiri oleh Rony K. Pratama (Peneliti Pedagogi Kritis) dan Dhianita Kusuma Pertiwi (Penerjemah Dark Academia) sebagai pembedah, serta ditanggapi oleh Rakhmat Hidayat (Dosen Sosiologi UNJ), Wahyu Budi Nugroho (Sosiolog Universitas Udayana & Direktur Sanglah Institue), dan Joko Priyono (Penulis) sebagai penanggap, serta dipandu oleh Adib Baroya Al Fahmi (penulis) sebagai moderator.
Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi merupakan buku ketiga yang diterbitkan oleh Footnote Press pada Maret 2022, ditulis oleh Peter Fleming dan diterjemahkan oleh Dhianita Kusuma Pertiwi. Dalam buku ini, Fleming mengupas bagaimana relasi kuat antara neoliberalisasi pendidikan tinggi selama 20 tahun terakhir dengan neraka psikologis yang sekarang dihadapi oleh para staf pengajar dan mahasiswa. Ia menyelami dunia yang sekarang terobsesi dengan metrik dan sangat hierarkis ini untuk menunjukkan rahasia tersembunyi dari perguruan tinggi neoliberal.
Sebagai pembuka, Dhianita mengawali dengan menceritakan bagaimana pertemuannya pertama kali dengan buku Dark Academia. Ia mengungkapkan bahwa pertemuan dengan buku tersebut terjadi tanpa sengaja. Mulanya, ia memoderatori suatu diskusi tentang buku yang ditulis oleh dosen-dosen Universitas Indonesia. Dalam diskusi tersebut, salah satu pembicara menyinggung tentang buku Dark Academia yang dikutip dari tulisannya. Ia lantas tertarik lantaran pandangan sinis dan kritis dalam Dark Academia, lalu mencari tahu lebih lanjut. Ia juga mengungkapkan alasan mengapa menerjemahkan buku tersebut, “Tidak ada alasan untuk tidak menerjemahkan buku ini. Saya pikir, ini sebuah pelajaran. Sebuah intervensi yang harus kita lakukan sebelum kegelapan dalam dunia Pendidikan tinggi kita semakin meluas.”
Berbeda dengan Dhianita Kusuma Pertiwi yang bertemu dengan Dark Academia melalui kutipan dalam buku lain, membaca buku Dark Academia mengingatkan Rony K. Pratama dengan tiga tulisan; buku The Death of the American University (1973) yang ditulis oleh Louis G. Heller, artikel The Death of American Universities (2014) yang ditulis oleh Noam Chomsky, dan buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (2002) yang dieditori oleh Heru Nugroho.
“Mengapa saya teringat pada tiga tulisan tersebut? Karena dua yang pertama merupakan otokritik terhadap kampus. Ternyata otokritik pada kampus bukanlah hal yang baru, bahkan sejak 1973 sudah pernah dilakukan. Lalu berkaitan dengan yang ketiga, ketika kita membaca buku Dark Academia dan McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, kita akan mendapatkan titik signifikansinya. Kedua buku tersebut memiliki titik berangkat yang sama, yaitu pemikiran dari George Ritzer dalam The Mcdonaldization of Society. Membaca ketiga buku tersebut dan membaca Dark Academia saya pikir menarik. Bagaimanapun, perguruan tinggi mengalami dinamika yang bukan hanya sebagaimana pendidikan memanusiakan manusia, tetapi juga selalu tidak bebas nilai. Artinya, ia selalu diintervensi oleh kepentingan neoglobalisme.”
Dalam pembacaan Rony K. Pratama atas buku Dark Academia, ia melihat dua kata kunci penting, yaitu birokratisasi dan komersialisasi. Dua kata kunci ini menginduk pada neoliberalisme yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi, yang merupakan poin penting dalam kritik Peter Fleming. Selain itu, kata-kata kunci tersebut juga mengarah pada modernisasi perguruan tinggi.
Rony lalu menutup pemaparannya dengan mengatakan bahwa buku ini merupakan kecintaan Fleming terhadap perguruan tinggi. Ia, sebagai seorang akademisi, melakukan otokritik sebagai bentuk refleksi, perenungan yang mendalam, walau menggunakan gaya sinis. Hal ini menandakan bahwa ada persoalan yang sangat genting dalam dunia pendidikan tinggi.
Selepas Dhianita Kusuma Pertiwi dan Rony K. Pratama memaparkan hasil pembacaannya atas buku Dark Academia, kemudian beralih pada ketiga pembicara yang menanggapi lebih lanjut tentang buku tersebut. Diawali oleh Rakhmat Hidayat yang menceritakan tentang disertasinya di Perancis pada tahun 2010-2014. Menurutnya, apa yang disebut dengan reformasi pendidikan tinggi, menggambarkan semua yang telah dijanjikan atau diekspektasikan oleh rezim pendidikan tinggi saat itu, terkait transparansi atau kapabilitas, tentang reformasi birorasi, dan seterusnya. Dalam risetnya, ia mewawancarai PTN BH generasi pertama di UI, ITB, UGM, UNAIR, USU, UPI.
Terkait pembacaannya atas buku Dark Academia, Rakhmat memaparkan tiga poin penting. Pertama, dari segi judul yang sangat provokatif ini menyadarkan kita bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Judul ini membangunkan kita—khususnya akademisi—dari tidur panjang yang sibuk terjebak pada urusan-urusan teknokrasi ekspansionis. Bisa digambarkan bahwa judul yang provokatif ini merupakan satu panggilan untuk aktivitas akademika. Bukan hanya untuk dosen dan mahasiswa, tetapi semua orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Judul yang provokatif ini juga menjadi satu pengingat atau semacam lonceng kematian yang menggambarkan betapa suramnya pendidikan tinggi saat ini. Kedua, yang menjadi penting adalah refleksi dan kritik dalam buku ini menggambarkan bahwa sebenarnya pendidikan tinggi tidak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga berbagai macam paradoks. Hal ini menjadi peringatan bagi kita bahwa sebenarnya pendidikan tinggi selama ini hanya menjadi sesuatu yang taken for granted. Jadi, jika kita melihat dengan kasat mata, tentu tak ada masalah. Namun, jika diselami lebih dalam dan melihat sisi-sisi lainnya, akan nampak sisi gelapnya. Ketiga, terkait kontekstualisasi dalam pengerjaan buku ini menjadi sangat penting. Dhianita Kusuma Pertiwi menerjemahkan buku ini dengan—secara kreatif—melakukan modifikasi dan mengontekstuliasasikannya dengan situasi yang ada di Indonesia, sehingga penerjemahannya menjadi bagus.
Terakhir, sebelum menutup, Rakhmat menyimpulkan, “Apakah Peter Fleming revelan? Iya, relevan. Fleming membawa kita bercerita tentang diri kita. Jadi, bukan diri saya sebagai dosen atau sebagai mahasiswa atau sebagai orang yang bekerja dalam birokrasi, tetapi ia sedang bercerita tentang wajah pendidikan Indonesia yang ia sebut sebagai otoriter manajemen, sebagai metrik. Jadi, sebagai wajah pendidikan Indonesia sesungguhnya.
Jauh berbeda dengan Rakhmat, setelah membaca Dark Academia dan mengaktualisasikannya dengan perguruan tinggi di Indonesia, Wahyu Budi Nugroho mengatakan bahwa kematian itu masih jauh. Menurut Wahyu, hidup saja belum, bagaimana mau mati? Selain itu, Rakhmat juga mengkritik bahwa Fleming sama sekali tidak menyoroti soal kompetensi dosen dalam bukunya.
“Kompetensi dosen di Indonesia itu masih menjadi problem yang sangat luar biasa. Ini merupakan dampak dari rekrutmen dosen yang serampangan. Asalkan orang itu sudah S2, sudah bisa menjadi dosen. Jadi, seolah-olah kualifikasi S2 saja sudah cukup menjadikan seseorang sebagai dosen. Tidak dilihat apakah sebelumnya punya publikasi apa dan sebagainya, sebelumnya sering menjadi pembicara dalam diskusi publik atau tidak, dan sebagainya. Padahal, profesi dosen adalah profesi yang sehari-hari berputar dengan hal-hal semacam itu,” ungkap Wahyu.
Lebih lanjut lagi, Wahyu memaparkan bahwa bagaimana perguruan mau mati jika hidup saja belum. Rasional saja belum. “Kita masih sangat irasional,” tegasnya.
“Fleming berbicara soal birokrasi pendidikan rasional dan efisien, tetapi di Indonesia, kita belum mencapai hal itu. Menurutnya, kita belum sepenuhnya rasional. Belum sepenuhnya efisien. Kita, mungkin, masih setengah saja,” jelas Wahyu sebelum mengakhiri paparannya.
Terakhir, pemaparan dari Joko Priyono membahas tentang bagaimana Fleming menyoroti kehidupan mahasiswa. Ada berbagai persoalan, kekhawatiran, ataupun kekecewaan yang lahir dari mahasiswa itu sendiri. Jadi, seolah-olah perguruan tinggi menjadi ruang yang tidak menarik lagi.
Terkait budaya akademik, Joko berangkat dari salah satu tulisan menarik dan terus relevan baginya, yaitu salah satu tulisan dari Andi Hakim Nasution, dosen di Institut Pertanian Bogor tahun 1978-1987. “Dulu, di tahun 2002, beliau pernah menulis sebuah artikel panjang di Harian Bandung Raya dengan judul Ketekunan yang Langka. Jadi, untuk melihat bagaimana tradisi ataupun budaya akademik dalam kampus, kita bisa melihatnya melalui buletin atau sesuatu yang tertempel pada mading-mading fakultas,” ungkap Joko. Dalam tulisan itu, Andi Hakim Nasution sangat mengkritik bagaimana perguruan tinggi yang ada di Indonesia justru tidak memperhatikan kajian-kajian sesuai dengan kasus jurusan.
Bincang buku Dark Academia berlangsung selama 2 jam 31 menit dan dihadiri oleh 50 peserta lebih. Melalui pembacaan lebih lanjut atas buku ini, pembaca akan diajak menyusuri lorong-lorong gelap yang selama ini telah terjadi—yang mungkin tak disadari—dalam dunia pendidikan tinggi.
M. Dandy
Pekerja Buku & Perancang Grafis