Pendidikan ideal seperti apa, yang ada di dalam pikiran kita, baik secara intelektual maupun praktikal… Menggunakan kerangka berpikir apa kita mampu merumuskan konsep sesuai dengan penerapan, sedangkan dunia pendidikan memiliki keterkaitan dengan elemen lain—begitu kompleks masalahnya. Maka, perlu merunduk lalu letakkan semuanya pada porsi yang tepat, yaitu tenaga pendidik dan sistem pendidikan dengan dasar sudut pandang fenomenologi.[1]
Buku ini ditulis oleh Peter Fleming, seorang profesor di Sekolah Bisnis Universitas Teknologi Sydney (UTS). Dia sebelumnya menjabat di Universitas Cambridge, Universitas Queen Mary London, dan Sekolah Bisnis Class. Penelitiannya berfokus pada masa depan dunia pendidikan, dunia kerja dan implikasi etik yang muncul. Selain itu, juga menulis banyak buku, di antaranya: The Mythology of Work, The Death of Homo Economics, The Worst is Yet to Come, Sugar Daddy Capitalism, dan Dark Academia: How Universities Die.
Buku Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (2022) merupakan karya Peter Fleming yang patut dibaca. Buku ini seperti menjadi bukti bahwa
Peter Fleming menyelami dunia pendidikan yang sekarang terobsesi dengan metrik dan sangat hierarkis untuk menunjukkan rahasia tersembunyi dari perguruan tinggi neoliberal. Buku yang menguji mengenai komersialisasi, gangguan mental dan kecenderungan menyakiti diri sendiri, meningkatnya manajerialisme, mahasiswa yang menjadi konsumen dan penilai atas dosennya, dan individualisme kompetitif yang menunjukkan kilau gelap dari alienasi di perguruan tinggi.
Dhianita Kusuma Pertiwi, sebagai penerjemah buku ini, sangat patut diapresiasi. Dengan adanya buku terjemahan ini, kita bisa mengetahui lika-liku dunia pendidikan tinggi secara umum. Selain itu, terjemahan buku ini sangat enak dibaca, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan mudah diterima. Nyaris tidak ditemukan ambiguitas kata, frasa, klausa, ataupun kalimat. Buku yang patut untuk dibaca semua kalangan.
Membaca buku Dark Academia membuka pemikiran pesimistis sekaligus sinis terhadap dunia pendidikan, sesuai dengan judul bukunya yang provokatif. Selesai membacanya, kita bisa mengetahui sisi gelap dunia pendidikan—yang dapat menyadarkan kita mengenai keran-keran sistem yang secara umum berlaku dalam pendidikan tinggi di luar negeri. Namun, Indonesia pun memiliki relevansi hal serupa.
Sistem pendidikan yang kurang baik ataupun buruk tak akan merobohkan bangunan besar gedung-gedung pendidikan. Namun, untuk bisa mengubah tatanan dari dalam, kita perlu menghadirkan kesadaran sikap kritis sehingga dapat berbanding lurus dengan cara-cara kesadaran manusia bekerja secara baik, dan membuka cara-cara baru yang perlu dilakukan. Setelah itu, yang perlu dilakukan adalah langkah ideal khusus secara kontekstual dan komunal.
Fenomenologi Dark Academia
Dark Academia terdiri atas 10 bagian. Pada bagian 1, pembaca ditawarkan narasi mengenai data yang terjadi di Britania Raya mengenai dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. Hasil yang mengejutkan jika dikorelasikan para masyarakat terdidik tak menjadi prioritas baik. Bahkan terdapat sebuah pandangan kurang baik, lantaran ruang akademik tidak dikenal secara baik bagi masyarakat dalam fokus disiplin ilmu. Peter Fleming menyampaikan sebagai berikut.
Survei terbaru yang dilakukan kepada 6.000 akademisi Britania Raya menunjukkan 90% dari mereka ‘sangat tidak puas’ dengan manajemen perguruan tinggi. Permasalahannya adalah bahwa akademisi merupakan spesialis yang terlatih bertahun-tahun mendedikasikan pendidikannya untuk disiplin ilmu yang dipilih, sementara tidak ada satupun dalam organisasi yang lebih tahu tentang pembelajaran dan bidang riset mereka, termasuk juga jajaran manajer (halaman 3).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ada sebuah problematik kompleks dalam sistem pendidikan tinggi dengan dunia kerja, bahkan pandangan kurang baik terhadap dunia pendidikan teralienasi dari realitas sosial. Bagaimana sistem tersebut tidak memiliki sebuah pijakan jelas yang ideal tentang spesialisasi seorang akademisi di dunia kerja, jika dunia pendidikan tersebut menjamin dunia kerja. Sederhananya, dunia pendidikan tidak mampu membuka ruang baik untuk dunia luar, sehingga akan menjadi masalah jika pendidikan cenderung menjadi surga utopis.
Pandangan di atas memberikan gambaran bahwa dunia pendidikan tinggi tidak hanya menjadikan kita sebagai pencipta, melainkan seperti barang tanpa berpikir (benda)—yang seolah-olah tidak mampu berimprovisasi untuk membuka keran kerja sendiri, yang sesuai.
Pendidikan pada intinya membuka pola pandang yang mestinya membuat kita lebih baik sebagai manusia. Itulah hemat sederhana dalam memandang dunia pendidikan secara umum, sebelum memandang sisi lain dunia pendidikan, yang lebih kompleks akan dihadapi. Terkadang, secara praktik dan konsep, menjadi kontradiksi serta menjadi pemikiran surga utopis.
Kata ‘dark’ pada judul Dark Academia merupakan metafora, yang perlu diartikan secara luas, bahwa ‘pendidikan tinggi’ memiliki arti sederhana kalau pendidikan belum mampu menjamin hidup seseorang dan menganggap bahwa perguruan tinggi merupakan paling baik untuk segala hal, apalagi berpikir kalau gedung tinggi mampu menjamin hidup: karir, pekerjaan, dan hidup moncer. Perspektif tersebut kurang tepat, walaupun ideal dalam konteks ini, merupakan hal umum walau perlu objek lain untuk mereduksinya.
Peter Fleming menawarkan pemikiran yang pesimistis. Menyadari kalau hidup ini tidak baik-baik saja, khususnya pendidikan tinggi, sehingga sadar dengan dasar berpikir kritis. Berikut ini konteks tepat di dunia pendidikan tinggi yang perlu diajarkan sebagai konsep berpikir kritis, serta juga mampu berpikir sebelum melakukan sesuatu. Kerangka seorang terdidik memiliki daya pikir logis terukur sebelum melakukan sesuatu. Pola pikir tersebut mereduksi pola-pola baik dalam bentuk tindakan manusia terdidik.
Pseudo-Pendidikan
Konsep pemikiran di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan karena pendidikan tinggi tidak bisa menjamin itu semua secara praktik, sebab terkadang justru menjauhkan dari kehidupan kita yang begitu dekat dari realitas. Senada dengan apa yang disampaikan Caplan[2], perguruan tinggi tidaklah lebih dari sinyal sosial dan hal yang membuang-buang waktu jika hanya bertujuan untuk membangun kemampuan bekerja.
“…hal ini terbukti saat pandemic covid 19. Analisis Institusi Cato, Bryan Caplan, menyatakan bahwa krisis tersebut tidak dapat membantu. Menunjukkan kegagalan sistemik dari pendidikan tinggi di Amerika.” (Halaman 9).
Kutipan di atas memberikan sebuah jawaban bahwa dunia pendidikan tinggi sebenarnya tidak mampu memberikan jawaban atas apa yang terjadi di sekitar kita. Semestinya dunia pendidikan tinggi dapat berpikir visioner sehingga mampu menimbulkan solusi baru dengan kondisi yang terjadi. Hal ini menjadi contoh bahwa pendidikan tinggi menjauhkan dari kita dari realitas sosial, padahal mestinya mendekatkan pada kehidupan kita yang kompleks.
Dari segi sistem, jika dicermati secara luas, pendidikan tinggi memiliki kecacatan karena seolah-olah subjek di dalamnya hanya menjadi ladang komoditas saja. Kalau disadari, dapat dikatakan bahwa mahasiswa di dalam kelas hanya diajarkan pengetahuan saja, tetapi tidak tentang bagaimana memiliki sikap kritis terhadap lingkungan sekitar, terkhusus kritis terhadap apa yang terjadi pada diri sendiri, lalu mencoba menemukan sebuah solusi.
Fenomenologi ‘Faculty Land’[3]
Pengalaman dan kesadaran dalam dunia pendidikan tinggi membuat seorang Peter Fleming menulis sebuah pandangan yang begitu kompleks, bahwa kehidupan dunia akademik tidak sekadar hitam putih. Bukan tentang nilai baik saja secara proses ataupun praktik, sehingga dunia akademik yang menjadi baik dari satu sisi akan buruk dari sisi lainnya. Berikut ini yang disampaikan.
“Sebagian besar riset terhadap perguruan tinggi korporat cenderung terfokus pada transformasi struktural yang telah terjadi selama 35 tahun terakhir. Sejumlah perguruan tinggi gila muncul dikarenakan reformasi yang diarahkan oleh pasar ini, menghasilkan apa yang disebut oleh Richard Hill sebagai “whacakademia” (halaman 25).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dunia pendidikan tinggi hanya menjadi wadah yang akan membuat mahasiswa berada di bawah naungan sistem. Jika seperti ini, pada akhirnya hanya mencetak manusia pekerja. Jadi, perguruan tinggi seolah-olah hanya menjadi mesin pencetak pekerja, bukan menjadi pencipta pekerja. Maka, pendidikan bukan lagi tentang bagaimana mengasah kemampuan diri, melainkan bagaimana menjadi tenaga kerja.
Pesimistisnya, pendidikan kita di masa depan tak mampu memproduksi prinsip-prinsip aksioma. Artinya, bentuk nyatanya bahwa perguruan tinggi gagal, karena menampilkan sebuah kebenaran tanpa pembuktian. Prinsip-prinsip neoliberalisme berlaku di perguruan tinggi, sebab ada hal-hal yang mengarah pada cara-cara yang disetir oleh pemerintah secara aturan ekonomi.
Fenomenologi ‘Selamat Datang di Edu-Factory’
Dunia pendidikan tinggi merepresentasikan sebuah pabrik, seolah-olah menjadi tempat yang memproduksi mahasiswa secara bersamaan, bukan dilatih sebagai pemproduksi atas apa yang dimiliki oleh mahasiswa. Latihan yang akan membentuk kesadaran seseorang bukan latihan membuka peluang, melainkan menunggu peluang. Hal tersebut akan menjadikan kita dalam memandang masa depan setelah lulus, bisa bekerja di tempat yang dengan sengaja bekerja sama dengan sekolah, sedangkan dunia pendidikan tinggi yang demikian memberikan anggapan buruk.
“…Pada tahun 1960-an anti akademisi sayap kanan terus mengeluhkan perguruan tinggi sebagai institusi yang tidak berkembang, sarang yang menyimpan budaya, dan kemalasan yang didanai oleh para pembayar pajak. Karena para professor sedang besantai membaca Marx semantara mahasiswa menyedotuang negara seperti ada hari esok, sehingga reformasi sangat dibutuhkan” (Halaman 58-59).
Peter Fleming pada gagasan di atas memberikan sebuah kritik terhadap sistem yang kurang tepat dilakukan oleh para intelektual di dunia pendidikan. Mengapa hal itu terjadi di dunia pendidikan di negara-negara maju. Jika itu terjadi, bukannya pendidikan hanya menjadi adu gengsi di ruang kampus, tetapi perlu kesadaran dari segi pola pandangan atau pikiran tidak memiliki kualitas baik.
Terkhusus dalam dunia pendidikan yang hanya menjadi jalan alternatif dalam memahami diri atau kemampuan dirinya, tidak akan menemukan, malah akan membuat lebih jauh karena secara tidak langsung tidak ada unsur-unsur kritis membangun atas diri. Hal-hal yang menimpa akan diri untuk bisa menyadari kalau kesadaran muncul karena ada sebuah fenomena.
Batasan atas dirinya untuk berkembang akan sangat kecil serta sulit. Jika sistem pendidikan tinggi hanya memperlakukan manusia yang belajar demikian, s sangat tidak mungkin bisa membuat perkembangan sangat baik secara pribadi—untuk memahami kemampuan diri yang perlu dikritisi. Jika dipikirkan kalau ternyata sistem tersebut tidak mendukung atas kesadaran diri, malah tambah menjauhkan dengan cara-cara yang bersifat mengikat atas ruang yang lebih sempit.
Pada konteks ini dapat dikatakan jika pendidikan tinggi merupakan kapitalis. Hal ini dibuktikan dengan Perguruan Tinggi modern, terdapat dua narasi yang berlawanan. Yang pertama berdasarkan individualisme pasar dan kedua bergerak ke arah kolektivisme birokrat (halaman 55).
Narasi di atas menunjukkan bahwa terdapat dasar kapitalisme, karena ada sebuah hasil akhir dengan memanfaatkan gelar yang dihasilkan seperti komoditas privat, “Jika orang-orang bersikeras untuk mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah barang gratis, orang-orang yang dijalankan seperti rantai penawaran dan permintaan, yang juga mendanainya akan bertindak seperti itu.[4]
Gegar Dunia Pendidikan
Sebuah narasi yang menunjukkan kalau dunia pendidikan tinggi merasakan gegar kebiasaan belajar mengajar. Pendidikan seperti tidak mampu menanggulangi apa yang terjadi pada masa pandemi. Padahal secara signifikan, kesadaran tersebut menjadi gerbang baik bagi dunia pendidikan tinggi. Namun, harapan tersebut tidak bisa dianggap bahwa dunia pendidikan mampu menyelesaikan sebuah masalah-masalah kompleks. Lagi-lagi, pendidikan tinggi mendapat pertanyaan yang semestinya dijawab dengan menanggulangi.
“…Namun, bukankah ‘dampak’ yang diharapkan dari perguruan tinggi semestinya bersifat lebih positif, seperti mengembangkan vaksin Ebola dan teknologi bebas polusi? (Halaman 134-135).
Dampak dari suatu negara yang mengalami penurunan drastis dari segi suasana sosial, contohnya pandemi covid-19 pada tahun lalu. Dampak tersebut dirasakan dunia pendidikan tinggi. Secara signifikan tidak memberikan dampak secara baik dalam hal penanganan suatu negara,tapi dampak tersebut dapat dipandang dari segi anggaran dan mengalir ke dunia pendidikan walaupun tidak memberikan solusi. Kasarnya, dunia pendidikan hanya berada di menara gading.
Jika dipandang secara general, dunia akademik bisa menjadi ujung tombak terhadap sebuah problematika sosial, baik dalam skala kecil maupun besar, di berbagai negara. Karena pendidikanlah yang memiliki kesempatan lebih banyak belajar serta membuka kesadaran visioner.
Sudah semestinya peran sentral yang aktif yaitu, generasi yang berada di dunia pendidikan tinggi mampu menanggulangi problematika yang ada. Bukan hanya bertengger di menara gading—yang seolah-olah mengetahui banyak hal, tetapi tidak bisa menanggulangi bahkan merasakan sendiri dinamika dunia gelap dalam pendidikan tinggi. Namun situasi yang terjadi bukan akhir dari segalanya. Untuk membenahi lobang-lobang pendidikan ini terletak pada akademisi dan mahasiswa.
[1] Lemay & Pitts, penerj. P. Hardono Hadi, Heidegger untuk Pemula (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 27.
[2] Caplan (2020), “Covid on Campus (dengan Bryan Caplan)” Libertirian.org. dapat diakses di www.liberterian.org/podcasts/bulding-tomorrow/covid-campus-bryan caplaan.
[3] Istilah ini diambil dari Fantasyland, salah satu tema di Disney World yang digunakan oleh para administrator untuk menyindir para akademisi. Baca lebih lanjut di Fleming, Dark Academia: Matinya Perguruan Tinggi (Footnote Press, 2022)
[4] Menurut Buchanan, yang dibutuhkan pendidikan tinggi adalah kapitalisme.
Akhmad Mustaqim
Mahasiswa Pascasarjana
Pendidikan Bahasa Indonesia, UNISMA