PADA AKHIRNYA, hidup hanya sebuah eksperimentasi. Tidak ada yang tetap dalam hidup; seperti sungai, meminjam Heraklitos, kita tidak pernah mandi di sungai yang sama. Tidak ada yang-mutlak-sama dalam hidup; seperti matahari, meminjam Heraklitos, baharu setiap hari.

Heidegger, filsuf besar dari Meßkirch itu, melepas jabatan rektornya yang prestisius di Universitas Freiburg. Dia bermigrasi ke Todtnauberg, sebuah pegunungan sepi di pinggiran Hutan Hitam di selatan Jerman, dan mendirikan sebuah gubuk. Di gubuk kecil yang begitu sederhana—juga dengan kehidupan yang ugahari—dia menulis sebuah magnum opus, selama sepuluh tahun, Sein und Zeit. Di bukit yang begitu dingin, hanya ditemani istrinya, Elfride Petri, Heidegger tak mempublikasi jurnal atau tulisan apa pun. Semua heran, ke mana perginya pemikir jenius dan sulit senyum itu? Demi berpikir dan megkhayati Ada, juga ditemani puisi yang ia baca setiap sore, Heidegger menanggalkan semua hidup yang serba glamor. Heidegger, pada akhirnya terdemotivasi.

Kierkegaard, filsuf jenius dan religius—juga berwatak tempramen—menyatakan cinta dan melamar seorang gadis cantik jelita, Regina Olsen. Dia mengungkapkan rasa cinta dan pertemuannya dengan Regina dalam sebuah catatan harian:

“Saya masuk rumah bersamanya. Kami berdiri di ruang tengah. Regina tampak gelisah. Saya memintanya bermain musik seperti biasanya. Ia pun memainkannya, tetapi tidak dapat menenangkan saya. Tiba-tiba, saya menarik partitur dan menutupnya, dengan kasar, lalu melemparkannya ke atas piano dan berkata, ‘Oh, persetan dengan musik! Engkaulah (Regina) yang saya dambakan selama dua tahun’…Tetapi, ketika ia berbicara tentang Schlegel [pria yang kelak menikah dengan Regina—pen.], saya berkata ‘Biarlah hubungan itu menjadi sekedar tanda kurung saja; bagaimanapun, priotiasnya adalah saya’…Saya langsung mendatangi Etatsraad Olsen [ayah Regina—pen.]…Ayah Regina tidak mengatakan ya atau tidak, tetapi kelihatannya ia cukup berkehendak (menikahkan kami), seperti yang tampak di raut mukanya. Saya minta diadakan pertemuan: permintaan saya dikabulkan, dan waktunya adalah tanggal 10, sore hari. Saya tidak mengatakan sepatah kata pun untuk membujuk Regina. Ia mengatakan, Ya”[1] – 24 Agustus 1849.

Kierkegaard, yang keras dan tampak egois itu, mendapatkan apa yang ia mau. Regina—gadis cantik jelitas khas bangsawan—juga mencintai dan menerima lamaran Kierkegaard: “Saya (Kierkegaard) akan menjalin relasi dengan seluruh anggota keluarga itu, dan memperlihatkan segala kebolehan saya di hadapan ayahnya yang memang selalu saya cintai.” Optimisme ini membawanya ke jurang kepedihan. Dalam catatan harian yang sama, juga pada tanggal yang sama, Kierkegaard melanjutkan:

“Namun, dalam batin, pada hari berikutnya, saya menyadari bahwa saya telah mengambil langkah yang keliru. Seorang yang sedang bertobat, seperti saya ini, terhadap masa lalu (vita ante acta), semua ini sudah cukup. Saya luarbiasa menderita waktu itu, Regina tampak tak menyadarinya…suatu kali ia berkata bahwa ia menerima cinta saya karena belas kasihan.”

Kierkegaard sadar atas keburukan sifat-sifatnya. Kesadaran yang musykil dan nahas; Kierkeegard, meski tidak ada keraguan barang sedikit atas cintanya, merasa tak pantas meminang Regina. Keputusannya bulat:
Kierkegaard mengakhiri kisah cinta dengan Regina—pasti, dengan dada yang berlubang. Kierkegaard, bapak eksistensialisme (religius), juga filsuf yang sering dikutip Heidegger itu, pada akhirnya terdemotivasi.

Lelaki dengan mata strabismus (juling) dan pemuja kebebasan mutlak itu, tak kalah pahit. Jean-Paul Sartre, memiliki sejarah merah pada masa kecilnya—yang kelak sedikit banyak memengaruhi pemikiran filosofisnya. Sartre, sekurang-kurangnya, mengalami dua kali momen ‘kejatuhan’:

Kejatuhan Pertama. Kita akan mengutip autobiografi Sartre, Les Mots (1964), tentang bagaimana ia bisa terlahir, pada 21 Juni 1905, sebagai manusia: “Pada 1904, di Cherborg, Jean-Baptiste Sartre, seorang marinir yang telah sakit-sakitan karena demam yang ia bawa dari Indocina, bertemu dengan Anne-Marie Schweitzer. Gadis kesepian itu langsung dia ambil, dia nikahi, dan secara kilat, dibuatnya seorang anak, saya sendiri.”[2] Nahasnya, dengan cinta yang tergesa-gesa itu, ia lahir dengan mata yang tak serasi, strabismus. Parahnya lagi, ayah Sartre, Jean-Baptiste Sartre, meninggal persis ketika Sartre masih berusia dua tahun. Karena peristiwa menyedihkan itu, akhirnya Sartre tinggal bersama kakek dari jalur ibu—dan di tempat barunya ini, Sartre menemukan segudang kemewahan literatur yang dimiliki sang kakek.

Suatu hari, sang kakek, Schweitzer, membawa bocah kecil yang juling itu ke tukang cukur. Juga dalam Les Mots, Sartre menuliskan “peristiwa nahas tukang cukur” itu tanpa tedeng aling-aling, juga dengan sedikit kocak: “Saat diambil dari ibunya (dibawa ke tukang cukur), dia masih menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepada ibunya, ia menjelma seekor kodok.”  Fase cermin itu membuat Sartre sadar, ternyata, menurutnya kala itu, dia jelek dan mirip kodok. Hal tersebut diperparah karena kejelekannya juga diamini oleh orang lain (l’autre). Peristiwa nahas tukang cukur ini, memiliki konsekuen panjang dalam pemikirannya.

 Pada tahun 1943, dalam L’Etre et la Neant (1943), karena trauma bawah sadar masa kecilnya, konsep l’autre menjadi elementer dalam pemikiran Sartre: “asal mula kejatuhan eksistensiku, adalah eksistensi orang lain (ma chute originelle, c’est l’exsistence de l’autre).”[3] Seperti yang kita tahu, adigiumnya yang paling terkenal, “neraka adalah orang lain (l’enfer, c’est les autres)”[4] juga lahir dari trauma bawah sadar masa kecil. Terlahir adalah sesuatu yang faktis (ketiadaan pilihan sama sekali); kita tidak pernah meminta untuk lahir, apalagi, dalam bentuk yang rupawan. Dari trauma masa kecil ini, Sartre menganggap orang lain adalah pengekang kebebasan—neraka. Agar seseorang menjadi otentik dan bebas, kita diharuskan (atau bahkan diniscayakan) mengeleminasi l’autre dalam horizon eksistensi. Benar, filsafat juga bisa lahir dari kesadaran dan/atau trauma atas tubuh.

Kejatuhan kedua. Setelah menjanda selama sepuluh tahun, pada tahun 1917, Anne-Marie Schweitzer menikah dengan Joseph Mancy, lelaki yang, kata Sartre, “selalu berpikir dengan bertitik tolak dari matematika, fisika, atau pengetahuan teknis yang serba pasti.” Dari Paris, mereka bertiga pindah ke La Rochelle, kota kecil di tepi pantai, jauh sebelah barat Paris. Periode La Rochelle adalah periode kejatuhan kedua Sartre. Ayah tirinya, Mancy, dianggap Sartre kecil sebagai perampok kehangatan ibu terkasih dan keluarga kecilnya selama tinggal di Paris. Berbeda ketika berada di Paris, bersama kakek-neneknya yang penuh kehangatan dan pujian, di La Rochelle—bersama ayah tiri yang keras dan suka menjatuhkan Sartre—kebebasannya direnggut. Eksistensialisme (ateis) Sartre, dibangun di atas trauma masa kecil; sebuah filsafat yang mendamba kebebasan absolut dan pemberontakan atas penilaian orang lain. Hal ini berhasil hanya dan hanya jika, “eksistensi mendahului esensi (L’existence precede l’essence).”[5]

Kehidupan masa kecil yang penuh gejolak, membuat Sartre tumbuh sebagai subjek yang sinis terhadap penilaian orang lain (l’autre). Pengalaman traumatik masa kecilnya menjadi prototipe awal eksistensialisme yang cenderung menolak motivasi—tepatnya, omong kosong orang lain. Lelaki yang senang menulis di warung kopi itu, tak diragukan lagi, juga sinis pada hidup yang terkungkung “sistem”. Pada akhirnya, Sartre cenderung membuat siapa pun yang membacanya, terdemotivasi.

Lelaki berkumis lebat yang gila setelah menendang seekor kuda, sekaligus orang yang berani mengolok-ngolok dengan tajam peradaban Eropa yang dibangun lebih dari seribu tahun itu, adalah yang paling tragis dan kelam. Jika ada yang bertanya, di mana tempat paling tepat untuk mencari prototipe agung tentang kegelapan hidup, Friedrich Wilhelm
Nietzsche, adalah (nyaris) satu-satunya jawaban. Selepas ia meninggal, tak ada satu filsafat pun yang tak mengenal filsuf palu godam itu. Alasannya jelas: Karena ulah Nietzsche, pemikiran Eropa dan sembarang pemikiran yang dibangun di atas hasrat kepastian terguncang. Dengan aforisma-aforisma, tradisi Yunani hingga Eropa menjadi reruntuhan konsep, jadi abu.

Hidupnya kelam dan tragis. Bagi filsuf pengembara itu, hidup hanyalah sebuah eksperimentasi; tak ada ketetapan tunggal dalam perjalanan hidup. Semua serba tak pasti, retak dan penuh kejutan—jika pun ada yang pasti, mungkin hanyalah fakta bahwa kita terlahir, hidup, dan akan mati.

Nietzsche, pada Januari 1889, terkapar di jalanan Turin, Italia, karena kehilangan kontrol sebab kekecauan mentalnya. Akhirnya, Franz Overbeck, seorang teolog Kristen—meski Nietzshce begitu keras terhadap Kristiani—membawa pulang Nietzsche ke Basel. Sungguh, filsuf penutup abad 19 itu menjalani hidup yang menyakitkan; Nietzsche bergulat selama sebelas tahun dengan kegelapan total mentalnya—beberapa literatur menyebut, kegilaan yang ia alami disebabkan sebuah penyakit ganas, dormant tertiary syphilis.[6] Dengan penyakitnya itu, Nietzsche berpindah-pindah tempat: Jika musim dingin ia akan bermigrasi ke wilayah yang lebih hangat; begitu pula sebaliknya, jika musim panas ia akan bermigrasi ke wilayah yang lebih sejuk. Hidupnya mengembara, tak ada kepastian, begitu pula dengan filsafatnya. Di aforisma ke 124, dalam The Gay Science (1882),  Nietzsche memperteguh kita untuk berani mengembara dan mengarungi lautan ketakpastian: “Kapal akan terus berlayar di tengah samudera ganas! Kita telah menghancurkan dermaga—juga, kita telah menghancurkan  (satu-satunya) pulau di belakang kita.”[7] Tidak ada lagi tempat berlabuh, tidak ada lagi pegangan.

Nietzsche adalah sebuah eksemplar tentang hidup yang tak bisa dibangun di atas petuah-petuah. Petuah tak dapat mengubah kepedihan dan kegelapan hidup. Meski disingkirkan dengan segala cara, sembarang orang yang hidup tak bisa luput dari kepedihan—tak ada panasea, (obat dari segala). Nietzsche, filsuf yang memiliki kisah cinta yang pedih karena ditolak Lou Andreas-Salome, mengajak kita untuk bersikap nihilistik: “… setiap tujuan mengalami ketakcukupan, pun jawaban atas pertanyaan ‘mengapa’. Apa makna nihilisme?—nilai agung yang mendevaluasi dirinya sendiri.”[8] Tak ada jawaban tunggal atas sebuah tujuan hidup. Oleh karena itu, cara terbaik adalah dengan bersikap nihilis: Menjadi subjek yang terus menerus mencemooh dan mendevaluasi moralitas dirinya sendiri—sebuah moralitas tuan. Pada akhirnya, nihilisme Niezschean adalah ajakan musykil untuk hidup tanpa tujuan, hasrat, dan kepastian; sebuah testimoni demotivasi.

Charles Handoyo, tokoh rekaan Syarif Maulana, adalah mini konklusi dari semesta kepedihan hidup. Dalam novel grafis yang digarap dengan cemerlang oleh Eko Priyantoro, Charles Handoyo: Sang Demotivator (2022), Syarif menceritakan hidup yang pedih itu—dengan cerita yang ringan, unik dan lucu. Seperti testimoni kengerian yang telah kita jabarkan dalam empat cerita di atas, Syarif juga enggan—atau bahkan muak—dengan petuah-petuah motivasi yang pada dasarnya omong kosong. Petuah  motivasi cenderung fatalistik dan arogan; setiap orang dipaksa seragam, walhasil, mencerabut yang singular dari semesta subjek. Syarif, dengan berani dan tentu berisiko, mengambil jalan lain memandang hidup: demotivasi.

Demotivasi adalah proyek nakal Syarif yang dimulai dengan terbitnya tiga buku: Kumpulan Kalimat Demotivasi I & II dan Charles Handoyo: Sang Demotivator (yang digrafiskan oleh Eko Priyantoro). Tiga buku kecil yang hendak memproblematisasi, yang dianggap Syarif sebagai hal klise, jargon-jargon motivasi. Petuah-petuah motivasi, seringkali digunakan hanya untuk tujuan-tujuan banal; misalnya, sebuah optimisme hidup yang, dengan berbagai cara, bisa meraih kebahagiaan mutlak. Kita tahu, optimisme hidup yang mendamba kebahagiaan mutlak adalah naif, daif dan utopia, khayalan siang bolong. Meskipun, demotivasi ini akan jauh lebih menarik jika kita tarik ke dalam problem konseptual; melepas demotivasi hanya sebatas kumpulan jargon. Kita harus mampu memikirkan demotivasi sebagai diskursus—meski prototipe awal sudah ada di Kumpulan Kalimat Demotivasi II—untuk meruntuhkan mekanisme hasrat yang cenderung totalistik.

Pertanyaan pentingnya, apa “kondisi-pemungkin” bagi demotivasi? Jawabannya sudah jelas: keniscayaan kengerian hidup yang tak dapat diantisipasi. Kengerian hidup sebagai kondisi-pemungkin yang memungkinkan demotivasi adalah nature (alamiah), bawaan. Bukan menolak dan menyingkirkan kengerian hidup; vice versa, demotivasi adalah ajakan mengiyakan, mengatasi, dan melampaui hidup. Seperti Nietzsche, Syarif juga ingin “fatum brutum amor fati,” mencintai takdir buruk. Di titik ini, diakui atau tidak, demotivasi akrab dengan sikap nihilistik. Sebuah sikap tanpa hasrat, tanpa tujuan pasti, mengalir dan bersikap ugahari. Dalam hidup, tak ada sandaran, tak ada pegangan. Benar, kita dituntut menolak motivasi yang fatalistik dan arogan.

Dugaan paling masuk akal untuk proyek demotivasi seorang Syarif—meski harus bermetamorfosa menjadi problem konseptual—adalah asumsi-asumsinya yang didasarkan pada problem eksistensialitas manusia. Jika demotivasi mewarisi dan bersinggungan erat dengan turunan problem Nietzschean, maka, demotivasi adalah musuh bebuyutan warisan Stoisisme—karena jelas, petuah-petuah motivasi adalah konsekuensi tak langsung dari Stoisisme. Nieztche(an) dan para Stoik mempunyai perbedaan mendalam dalam melihat dan mengkahayati hidup—meski di beberapa tempat, terdapat kesamaan asumsi antara keduanya, misalnya tidak ada “kebaikan” dan “keburukan” dalam kenyataan.

Perbedaan paling mendasar antara Nietzsche(an) dan para Stoik (Seneca, Epictetus, misal) adalah asumsi mendasar tentang apakah realitas itu teratur, sistematik, dapat diformalkan, ataukah tak-teratur, chaos? Kita mafhum, Stoisisme—mazhab filsafat Helenis itu—berangkat dari andaian Aristotelian: Semesta kenyataan dapat distrukturisasi, diformalkan. Kita tahu, asumsi Aristotelian, beserta turunan formalitas logikanya, begitu ditentang oleh Nietzsche—terutama, tawaran etika Eudaemonia yang menganggap menjadi rasional adalah prakondisi kebahagiaan dan ketenangan pikiran.

Dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche mengutuk Stoisisme yang hanya “memberi tata cara melawan gairah (hidup).”[9] Nietzsche, filsuf palu godam itu, sinis terhadap kaum Stoik yang enggan berani menerima kenyataan pahit dan menolak gairah hidup. Dalam pembukaan The Gay Science, Nietzsche dengan nada keras berkata bahwa moralitas seperti itu hanya menawarkan “… kesabaran, obat, balsem dalam satu dan lain cara.”[10] Bahkan dengan segala cara, kaum Stoik mengarahkan segala energinya untuk meredam gairah dan kesakitan hidup.

Stoisisme, hanya membawa kita pada pemiskinan terhadap kenyataan hidup. Sebuah simplifikasi yang hanya sebatas mengejar ketenangan dan kebahagiaan pikiran. Nietzsche, dengan gayanya yang mengolok-ngolok, menganggap Stoik hanyalah subjek penakut[11]; takut pada kenyataan

hidup yang mengerikan. Tak ada cara lain. Bagi Stoik, kita harus meminimalisasi rasa sakit dan kepedihan—seperti yang kita tahu, dengan caranya yang dangkal. Sebaliknya, filsuf pengembara juga pesakitan yang tabah itu, menyarankan kita mengakumulasi rasa sakit sebanyak mungkin, agar kita mampu membuka “horizon baru semesta suka cita.”[12] Dengan rasa sakit yang begitu dahsyat, membuat kita semakin kuat: “Apa pun yang tak dapat membunuhku, membuatku lebih kuat.”[13] Filsuf yang besar karena pembacaan Heidegger ini, sekali lagi, menabuhkan sebuah ajakan untuk teguh pada kepahitan hidup—bahkan, merayakannya.

Enfin, pada akhirnya, kita harus tumbuh bersama luka. Tak ada sisi terang mutlak dalam hidup; pada suatu kala yang-entah, kita harus sanggup memanggul beban berat ke atas gunung, persis seperti Sisyphus. Tentu saja, bagi Camus—tanpa keraguan barang sedikit—kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Kita Sisyphus, kita harus bahagia dan berteman akrab dengan gores luka yang kita punya. Persis di sini demotivasi bekerja, yakni dalam sebuah batas ganda antara kegelapan dan keugaharian hidup. Hidup yang biasa-biasa saja, tanpa hasrat dan tujuan mutlak—sebuah sikap nihilistik, tanpa nihilisme. Seperti Nietzsche, dalam pengantarnya di
Twilight of the Idols, ia menunjukkan motto hidupnya: Increscunt animi, virescit volnere virtus[14], Semangat tumbuh, keberanian berkembang dengan luka.

Enfin, pada akhirnya, dalam menuju mati, hidup memang hanyalah sebuah eskperimentasi.

[1] Robert Bretall, ed. A Kierkegaard Anthology. Princenton University Press: Princenton, 1951. Hlm. 14-5.

[2] Jean-Paul Sartre, Le Mots, Gallimard: Paris, 1964. Hlm. 8.

 [3] Jean-Paul Sartre, L’Etre et le Neant: Essaie d’ontologie phenomenologique, Gallimard: Paris, 1943; Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes, Washington Square Press: Washington, 1993.

[4] Jean-Paul Sartre, Huis Clos: suivi de Les Mouches, Gallimard: Paris, 2000.

[5] “Ce qu’ils ont en commun, c’est simplement le fait qu’ils estiment que l’existence précède l’essence, ou, si vous voulez, qu’il faut partir de la subjectivité.” Jean-Paul Sartre, L’Existentialisme est un humanism, Nagel: Paris, 1945. Hlm. 3.

[6] Bernd Magnus, Friedrich Niezsche: German Philosopher, dalam Britannica, 2022. https://www.britannica.com/biography/Friedrich-Nietzsche/Decade-of-isolation-and-creativity-1879-89.

[7] “We have forsaken the land and gone to sea! We have destroyed the bridge behind us—more so, we have demolished the land behind us!” Nietzsche, The Gay Science, Cambridge University Press: Cambridge,
2007. hlm. 119

[8] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, ed. Walter Kaufmann. Vintage Books: New York, 1967.

[9] Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, Oxfrord University Press: Oxford, 2009. Hlm. 198.

[10] Friedrich Nietzsche, The Gay Science, Cambridge University Press: Cambridge, 2007. Hlm. 5.

[11] Ibid. hlm. 326

[12] Ibid. hlm. 12.

[13] Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, Oxford University Press: Oxford, 1998. Aforisma 08. Hlm. 02.

[14] Ibid. hlm. 1.

R.H. Authonul Muther
Penggiat Filsafat & Pengelola
Penerbit Edisi Mori