SEJAK 2021, penikmat Netflix menjalankan satu ritual khusus pada penghujung tahun, yakni menonton film pendek Death to yang sudah diproduksi dua edisi, Death to 2020 dan Death to 2021. Film bergenre mockumentary tersebut telah berhasil membuat para penontonnya tertawa getir melihat fenomena-fenomena yang sebenarnya menyedihkan atau depresif. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai keberhasilan sang kreator film dalam menciptakan narasi satir yang agaknya kita butuhkan dalam konteks bertahan hidup di tengah pandemi global yang terus melingkupi kehidupan kita selama dua tahun terakhir.
Kecenderungan serupa baru-baru ini saya peroleh dari buah karya terbaru Peter Fleming, seorang profesor di Universitas Teknologi Sydney, yaitu Dark Academia: How Universities Die. Saya harus mengakui bahwa hasrat untuk menerjemahkan buku tersebut terbit dengan begitu kuat saat saya baru menyelesaikan bab pertama. Berbekal pengalamannya sebagai seorang akademisi dan kajiannya yang kritis, Fleming menggambarkan gelapnya dunia pendidikan tinggi di beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat, juga Australia saat ini. Namun, Fleming tidak berhenti di situ. Adalah cara pembacaannya yang sinis atas fenomena-fenomena yang mengindikasikan atau mengarah pada industrialisasi perguruan tinggi yang menjadikan karya ini sebuah sumber refleksi penting bagi publik pembaca Indonesia.
Fleming menyoroti dengan tajam perubahan yang dialami dunia pendidikan tinggi saat ini yang semakin hari semakin berupaya menjadi seperti industri korporasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan pemujaan atas metrik kinerja bagi staf pengajar, monetisasi dalam penerimaan mahasiswa, serta lingkungan kerja yang semakin hierarkis dan mengesampingkan kesehatan serta keselamatan para sivitas akademika maupun staf manajerial perguruan tinggi. Semua hal tersebut sudah membuahkan sejumlah dampak yang tentunya sama sekali tidak kita harapkan-menurunnya kualitas pengajaran dan riset, persaingan tidak sehat dalam lingkungan kampus, bahkan kematian dan bunuh diri mahasiswa dan staf pengajar.
Layaknya film pendek Death to 2020 dan Death to 2021, Dark Academia juga menawarkan narasi satir yang membuat kita membaca fenomena-fenomena tersebut dengan cara pandang yang kritis sekaligus emotif. Dalam konteks Indonesia, pembacaan kritis tersebut meyakinkan kita bahwa kegetiran ini bukan untuk sekadar dibaca dan ditangisi, tetapi diambil pelajaran. Sebab beberapa hal mungkin akan terasa cukup familiar dengan situasi yang kita hadapi saat ini, baik sebagai mahasiswa maupun akademisi.
Dalam hal ini, mungkin Fleming akan menertawakan saya yang cenderung menunjukkan kepercayaan akan terjadinya suatu perubahan ke arah positif di tengah semakin kuatnya cengkeraman kapitalisme di berbagai aspek kehidupan kita, termasuk pendidikan. Namun, sepertinya memang itulah tujuan saya menerjemahkan kegelapan, yakni untuk menemukan satu titik terang.
Dhianita Kusuma Pertiwi
(Penulis dan Penerjemah)