FILM NASIONAL YANG dirayakan pada 30 Maret merupakan konsep yang penting dalam sejarah perfilman Indonesia karena ia menjadi dasar kebijakan pemerintah yang cenderung diskriminatif dan rasis[1], di masa Orde Baru (lihat “Mempertanyakan Gagasan ‘Film Nasional’”, Thomas Barker, 2010). Diresmikan tahun 1999 melalui Keputusan Presiden yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie, konsep ini ditegaskan menjadi sebuah landasan berpikir dan acuan bagi film Indonesia, termasuk—dan terutama—dalam konteks promosi kepada penonton dan advokasi dalam menghadapi persaingan dengan film impor, khususnya pada masa sebelum 2016 ketika bidang usaha film belum terbuka bagi investasi asing.
Konsep film nasional kini mungkin telah longgar, mengingat film-film yang dibanggakan di Indonesia diproduksi secara transnasional, baik dalam pendanaan, distribusi, maupun kru (sekadar contoh, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021) karya Edwin dan Autobiography (2022) karya Makbul Mubarak dan melibatkan kru transnasional dalam produksinya), sehingga menjadi lebih plastis.
Bagi saya, Umi Lestari dalam bukunya yang berjudul Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia sedang menggugat konsep film nasional dengan mengajukan nama Nawi Ismail. Ia menyatakan bahwa sesudah pemerintahan Sukarno, Orde Baru dengan sengaja merepresi film-film dari kelompok seniman Lekra, serta menganggap minor film-film yang tidak dibuat oleh Perfini. Narasi ini tidak hanya milik negara, tetapi juga dipegang oleh para kritikus yang menilai para seniman seperti Nawi Ismail hanya membuat hiburan tidak mutu untuk “saudagar film”. Dengan demikian, meskipun sepanjang hidupnya Nawi membuat lebih dari 60 film, ia nyaris tidak pernah diperbincangkan dalam konteks tinjauan terhadap estetika film Indonesia. Tidak ada tilikan terhadap bahasa sinemanya, bagaimana dampaknya terhadap pembuat film sesudahnya, ataupun kultur penonton di Indonesia.
Oleh karena itu, buku ini dapat disejajarkan dengan buku Ratna Asmara: Perempuan di Dua Sisi Kamera (Yayasan IVAA, 2022)—kumpulan tulisan tentang Ratna Asmara, di mana Umi juga terlibat sebagai penulis—karena mengangkat figur-figur yang diabaikan atau disepelekan guna mempersoalkan kembali pandangan mapan yang telah terbentuk berdasarkan narasi sejarah selama ini. Upaya semacam ini penting dalam penulisan sejarah film dan kebudayaan Indonesia, agar terus menantang pandangan dan posisi yang selalu diuntungkan oleh pandangan mapan tentang “film nasional” atau gagasan serupa.
Dalam konteks sejarah dan tinjauan estetika, buku Umi ini menjadi sangat penting karena ia meninjau secara mendalam karya-karya Nawi Ismail. Tinjauan ini dilakukan oleh Umi dengan cara membagi buku ini menjadi dua bagian. Dalam bagian pertama, ia meninjau posisi Nawi Ismail secara historis dengan melacak karya-karyanya dan posisinya secara sosio-kultural sejak masa pemerintahan Hindia Belanda hingga film terakhirnya. Pada bagian kedua, ia meninjau satu per satu film Nawi Ismail dengan melakukan pembacaan dekat menggunakan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh ahli film, Todd McGowan. Lewat bagian kedua ini, Umi ingin menunjukkan posisi penting dari estetika Nawi Ismail yang menggunakan kebebasannya melalui unsur-unsur komedi untuk mengakali tekanan dari ideologi Orde Baru.
Sejarah
Dalam kajian kesejarahan, Umi Lestari termasuk yang memanfaatkan terbukanya koleksi arsip sejak masa Hindia Belanda. Akses yang terbuka terhadap koleksi film-film masa Hindia Belanda dan pendudukan Jepang menjadi dasar untuk mengkaji lebih dalam, tidak hanya sejarah kolonialisme dan etnografi, tetapi juga sejarah estetika formal film dan medium audio-visual di Indonesia. Terbukanya koleksi arsip di Beeld & Geluid dan Eye Film Museum membuat kajian tentang sinema Indonesia memasuki babak baru. Penelitiannya tentang Nawi Ismail berhasil mendapatkan informasi penting terkait masa-masa pembentukan estetika dan bahasa sinema Nawi ketika masih menjadi penyunting film di Nippon Eigasha—pusat produksi film yang beroperasi di bawah departemen propaganda Jepang. Lewat seri Nampo Hodo yang disunting oleh Nawi Ismail, Umi bisa menyimpulkan beberapa teknik penyuntingan penting yang kemudian menjadi gaya Nawi dalam pembuatan filmnya. Selain Umi, Sandeep Ray lewat Celluloid Colony: Locating History and Ethnography in Early Dutch Colonial Films of Indonesia (NUS Press, 2021) yang mengkaji ulang film-film propaganda kolonial juga memberi sumbangan terhadap kajian sejarah dan etnografi kolonialisme Belanda di Indonesia. Ray bahkan membuka kemungkinan untuk mengusulkan terobosan dalam sejarah dokumenter untuk mengisi “kekosongan” antara pemutaran film di masa Lumière Bersaudara.
Umi Lestari mendeskripsikan aspek formal dan editing Nawi Ismail dalam mengerjakan seri Nampo Hodo seperti ini:
Susunan gambar Nampo Hodo memiliki rumusan struktur yang pasti dan baku. Sekuens dibuka dengan gambar yang diambil secara extreme wide shot, lalu ke wide shot, medium close-up, dan diakhiri dengan close-up. Gambar diambil secara extreme wide shot dan wide shot untuk menunjukkan situasi dan keterangan lokasi. Kemudian gambar yang diambil secara medium close-up dan close-up digunakan untuk menekankan aksi dan mimik orang-orang yang ada dalam gambar. Khusus untuk fragmen yang menggambarkan situasi perang atau pembangunan infrastruktur, ada tambahan berupa gambar yang diambil dengan bird-eye shot atau aerial view. Tambahan tersebut dihadirkan untuk memberikan pengalaman sebagai pengamat dalam melihat keseluruhan lanskap.
Dengan demikian, seperti halnya Sandeep Ray, Umi Lestari seperti menegaskan pentingnya untuk tidak mengabaikan materi propaganda dan menundukkan analisisnya di bawah kepentingan ideologi. Jika Ray menemukan pada footage yang tak terpakai sebagai bagian dari metode etnografi dan historisnya, Umi Lestari menemukan teknik sinematis atau bahasa formal sinema sebagai barang berharga guna melongok lebih jauh ke dalam sejarah sinema Indonesia.
Longokan ini penting lantaran nama Nawi Ismail, sebagaimana disampaikan oleh Lisabona Rahman dalam pengantar buku ini, tidak setenar sutradara semasanya yang juga memiliki Ismail pada namanya. Hal itu bukan tanpa alasan. Penyebab utamanya adalah soal estetika dan konsep film nasional seperti yang telah disinggung sebelumnya.
Premis Umi ini juga serupa dengan Misbach Yusa Biran yang menyebutkan peran penting Jepang dalam perkembangan estetika film Indonesia. Biran dalam bukunya Sejarah Film 1900-1950 : Bikin Film di Jawa (Komunitas Bambu, 2009), menyatakan bahwa keterlibatan para pembuat film generasi awal di Indonesia dengan produksi film Jepang membuat mereka mampu membayangkan film sebagai medium untuk membawa pesan-pesan sosial-politik. Namun, Biran tidak pernah mengeksplorasi pernyataan itu melalui tinjauan bahasa formal para sutradara film yang disebutnya. Ia hanya memberi gambaran umum mengenai pengaruh sebuah era terhadap perubahan individu.
Umi bertindak lebih jauh dengan meninjau aspek formalnya untuk memperlihatkan bahwa keterpengaruhan itu tidak bersifat sapu jagat, tetapi juga bisa berbeda antara satu pembuat film dengan lainnya. Melalui tinjauan aspek formal teknik editing Nawi Ismail, ia memperlihatkan bahwa pengaruh Jepang terhadap sinema Indonesia tidak hanya pada film dengan semangat mempromosikan pandangan sosial-politik macam Usmar Ismail, tetapi juga mempersoalkan kerja ideologi lewat komedi seperti yang dilakukan Nawi Ismail. Bagi saya dan peminat film Indonesia, terbayang pentingnya buku ini dalam menyumbang diskursus tentang estetika film Indonesia yang selama ini lebih banyak bertumpu pada “jalur Perfini” semata.
Perbedaan antara Nawi Ismail dengan Usmar Ismail diperlihatkan juga oleh Umi ketika ia membahas film yang dikerjakan oleh Nawi sesudah masa kemerdekaan. Nawi terlibat sebagai penyunting dalam film kontroversial, Frieda, yang disutradarai oleh Dr. Huyung. Film ini diedarkan pada periode sama (1950) dengan Darah dan Doa karya Usmar Ismail yang kemudian menjadi tonggak Film Nasional. Nasionalisme dan revolusi digambarkan secara berbeda oleh keduanya. Jika Darah dan Doa bercerita tentang heroisme pasukan Divisi Siliwangi selama Perang Revolusi, Frieda “mengisahkan revolusi dari kacamata perempuan Indo-Eropa dengan beberapa adegan yang terinspirasi dari aksi para perempuan membuka dapur umum di Yogyakarta saat perang”. Dengan mengutip Armijn Pane, Umi menyatakan bahwa film Frieda “mendorong Armijn Pane menawarkan gagasan tentang akulturasi dalam pembuatan film sebagai tandingan dari perspektif ultranasionalis dalam melihat film Indonesia.” Sayangnya, “tandingan dari perspektif ultranasionalis” ini tidak dieksplorasi lebih lanjut oleh Umi.
Selain itu, minimnya eksplorasi pada pembahasan“Perang Dingin”—yang tidak dingin di Indonesia. Umi mengajukan pandangan penting untuk melihat periode 1950-1960an tidak semata-mata dari pertentangan antara “kiri” dan “kanan”, tetapi melihat empat kemungkinan penting, yaitu pertama, produksi film berbasis kerja sama lintas negara; kedua, pertukaran pengetahuan film melalui penyelenggaraan festival bertaraf internasional; ketiga, perumusan estetika film Indonesia yang dibuat pekerja film; dan keempat, peningkatan partisipasi pekerja kreatif perempuan di industri film.
Pandangan revisionis terhadap Perang Dingin ini memang muncul seiring menguatnya dekolonisasi terhadap penulisan sejarah, dengan tuntutan dan kebutuhan penulis di negara-negara Global Selatan untuk menulis sendiri sejarah dan geopolitik mereka. Pandangan ini termasuk merevisi “perang” yang dianggap “dingin” yang sebenarnya hanya terjadi di Eropa, sementara di negara-negara seperti Indonesia justru “panas”, termasuk yang berpuncak pada peristiwa pembunuhan massal di tahun 1965-1966. Pandangan ini juga menolak antagonisme biner antara “kiri” dan “kanan”, melihat bahwa kekuatan domestik hanya merupakan perpanjangan dari politik internasional, dan melongok jauh pada situasi yang lebih kompleks, seperti yang dinyatakan oleh Umi. Namun memang pembahasan posisi Nawi dan periode ini masih terasa sepintas-lalu dalam buku yang dituliskan Umi, ketimbang misalnya—dengan periode kesejarahan yang sama—tinjauan posisi seniman Lesbumi yang dituliskan Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan (LKiS, 2008).
Komedi
Pada bagian kedua buku ini, Umi Lestari menggunakan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Todd McGowan—yang mengkritik sekaligus memperluas pendekatan psikoanalisis Jacques Lacan—untuk digunakan sebagai pisau analisis dalam membaca film. Pendekatan ini jauh lebih baik ketimbang—sekadar menyebut contoh—psikoanalisis yang digunakan oleh Laura Mulvey ketika menjadikan tatapan sebagai konsep sentral dalam sinema. Salah satu kritik utama terhadap tulisan Mulvey di tahun 1974 itu adalah sifatnya yang ahistoris, melihat teks seakan mengambang dari sejarah dan pengalaman menonton.
Psikoanalisis yang dikembangkan oleh McGowan ini tidak berhenti hanya pada pensejajaran penonton semata berada dalam posisi mirror stage ketika sedang mengikuti kisah tokoh film. McGowan menetapkan bahwa subjek di layar (tokoh film) serupa dengan penonton, yaitu memiliki hasrat. Hasrat ini, menurut McGowan, bisa terwujud melalui tatapan melalui sinema. Di sinilah peran radikal sinema dalam mengejawantahkan hasrat secara visual.
Penjelasan terkait psikoanalisis ini cukup rumit, dan uraian Umi tentang gagasan McGowan tidak sepenuhnya mudah diikuti. Namun poin terpenting darinya, lewat psikoanalisis, Umi menggunakan argumen McGowan untuk mengedepankan signifikansi politis dari tatapan. Signifikansi politis yang dimaksudkannya adalah tatapan—atau pengejawantahan hasrat—menjadi salah satu titik argumentasi pembuat film dalam menyelipkan ideologinya.
Dari pisau analisis ini, Umi memunculkan konsep jouissance, konsep kunci dalam psikoanalisis Lacanian yang dijelaskannya sebagai “semacam kenikmatan yang bersifat paradoks, sebab hanya bisa dinikmati karena ketidakmungkinannya untuk digapai”. Oleh karena itu, “Kenikmatan”—yang juga menjadi judul buku ini—merupakan sesuatu yang jelas terkait dengan aspek formal sinema dan hubungan antar-subjek—baik di dalam maupun luar film—ketimbang melompat dan mengaitkannya dengan identitas atau kategori-kategori sosiologis lainnya.
Dari sini, komedi dalam film-film Nawi Ismail menjadi penting karena Umi menempatkannya sebagai strategi formal Nawi untuk masuk ke dalam titik politisnya, yaitu menyelipkan “ideologi”-nya sendiri. Dalam kacamata kajian film di Indonesia, ini berarti mempersoalkan ideologi dominan Orde Baru yang dalam pandangan kebanyakan akademisi film di Indonesia dianggap omnipoten karena menguasai segala ekspresi estetis pada masanya tanpa menyisakan ruang sedikitpun. Pandangan semacam ini sangat segar dalam kajian sinema Indonesia masa Orde Baru.
Dengan cara pandang seperti ini, komedi dan penggunaan elemen sinema untuk mencapai efek komedi memiliki bobot nilai istimewa. Namun, saya tidak sepenuhnya setuju, misalnya tentang posisi Meneer Heyne (Hamid Arif) dalam Si Pitung dianggap Umi sebagai semacam bentuk pelembutan bagi militerisme, sedangkan saya melihatnya sebagai strategi Nawi guna membaca kompleksitas situasi pascakolonial melalui stereotip.
Meski demikian, menurut saya, pembacaan Umi tetap solid untuk menarik kesimpulan bahwa:
“Pelibatan unsur komedi dan pemanfaatan suasana komikal berkenaan dengan keputusan Nawi sebagai sutradara maupun editor untuk menelanjangi struktur ideologi sebagai bagian dari tatanan simbolik yang berlaku saat filmnya diproduksi. Sebab komedi hadir bersamaan dengan jouissance yang telah menelanjangi tatanan simbolik.”
Kembali pada mempersoalkan konsep Film Nasional, buku Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia menjadi salah satu buku yang berada di garda depan agar konsep ini menjadi plastis dengan menghadirkan tokoh dan estetika yang selama ini diabaikan atau disepelekan. Seiring dengan buku Ratna Asmara Perempuan di Dua Sisi Kamera, kajian film tidak lagi bertumpu pada institusi sosial-politik atau berangkat dari kategori, hierarki, dan genre dalam film, melainkan dari telaah mendalam terhadap subjek-subjeknya—baik yang bersifat material maupun non-material—di dalam film ataupun di luar film, serta pembentukannya melalui elemen formal sinema. Buku ini menjadi sangat penting, tidak hanya untuk keperluan sosial-politik dalam hal menggoyangkan kemapanan istilah dan nomenklatur, tetapi juga memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan radikal dari hal-hal yang disepelekan.
[1] Lihat Barker, Thomas. “Mempertanyakan Gagasan Film Nasional” dalam Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita: Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia, Salemba Humanika, 2011.
Eric Sasono
Kritikus Film, Peneliti Independen