SAYA YAKIN PARA pengguna media sosial Twitter dan Instagram paling tidak sekali dalam masa hidupnya sebagai netizen sempat melihat kiriman serupa di beranda atau laman pencariannya. Baik secara tidak sengaja atau memang karena mengikuti akun-akun yang diabdikan untuk membagikan konten-konten ‘txtdariorangberseragam’. Sebagai seorang perempuan yang lahir dari keluarga yang mengalami sendiri kekerasan militerisme selama Orde Baru berkuasa, dalam benak saya muncul perasaan yang bercampur jadi satu. Antara geli, risih, malu, tapi sekaligus senang. Tiga perasaan yang pertama mungkin bisa dengan mudah dipahami, tetapi bagaimana dengan rasa senang yang menyertainya? Perasaan tersebut terbit dalam benak saya karena kiriman-kiriman tersebut mengafirmasi keyakinan saya bahwa sampai hari ini anggota militer di Indonesia, para abdi negara kita sebenarnya juga pengabdi kekerasan.

Kata “pengabdi” memang punya makna yang sangat kuat, dan saya pun memang sengaja memilihnya dengan pembuktian historis yang tidak kalah kuat. Mari kita kembali ke salah satu peristiwa sejarah penting di Indonesia yang terjadi di bulan September, yaitu Gerakan 30 September. Sampai hari ini tentu masih ada yang meyakini bahwa militer merupakan korban dari peristiwa berdarah tersebut. Anggapan yang tidak sepenuhnya salah karena memang ada korban jiwa yang gugur dari pihak TNI dalam kejadian itu, yakni enam jenderal dan satu perwira. Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya lebih menunjukkan posisi TNI (atau ABRI pada saat itu) sebagai pelaku dari sejumlah kasus pelanggaran HAM massal terhadap masyarakat Indonesia. Sampai hari ini belum ada angka yang pasti terkait jumlah korban penyiksaan, penculikan, penangkapan, penghilangan, pemenjaraan, pembunuhan, sampai kekerasan seksual selama operasi pemberantasan komunisme 1965-1966.

Masuk ke periode kepemimpinan Suharto, militerisme menjadi nilai yang diusung oleh pemerintah dengan segala balutan propaganda terkait menjaga kesaktian Pancasila. Salah satu wujud nyata dari militerisme tersebut adalah Dwifungsi ABRI yang memungkinkan anggota militer beraktivitas di ranah-ranah lain di samping keamanan dan pertahanan. Tercatat pada pertengahan 1970-an, terdapat 20.000 personel militer, sebagian besar berasal dari kesatuan Angkatan Darat, yang masuk ke ranah politik: mulai dari menteri, duta besar, gubernur, sampai camat. Bahkan juga masuk ke ranah ekonomi, seperti direktur BUMN dan pejabat bank. Pada periode waktu yang sama, pemerintah Indonesia juga mengirimkan pasukan militer ke Timor Leste yang saat itu baru saja mendapatkan kemerdekaannya dari Portugis.

Namun, alih-alih menjalankan tugas sebagai pelindung rakyat, Komando Pasukan Khusus atau Kopassus menjalankan sejumlah operasi militer yang menjatuhkan banyak korban masyarakat sipil–sekali lagi–dengan kedok penyelamatan dari paham komunisme. Jumlah penduduk lokal yang tewas dalam sejumlah operasi militer di Timor Timur masih menjadi perdebatan, tetapi diperkirakan mencapai 100.000-300.000 jiwa. Narasi tentang kejahatan militer di Timor Leste sampai hari ini belum terlalu banyak diperbincangkan karena pendudukan pemerintah Indonesia selama kurang lebih dua dekade di sana masih sering digambarkan sebagai bentuk pengabdian ABRI kepada bangsa dan negara.

Tidak berhenti di situ, pada momentum-momentum lapuknya Orde Baru, militer kembali turun tangan untuk mengamankan singgasana kekuasaan Suharto. Kekerasan oleh militer terhadap masyarakat sipil mewarnai lahirnya demokrasi yang telah didamba-dambakan selama berpuluh tahun. Belum lama pada penghujung bulan Agustus lalu kita juga merayakan ulang tahun Wiji Thukul ke-60, salah satu tokoh yang disinyalir menjadi korban penghilangan oleh militer selama terjadinya demonstrasi besar-besaran di Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia.

Lalu masuklah kita ke era Reformasi, ketika Dwifungsi ABRI tidak lagi berlaku dan–katanya–dilakukan sejumlah perubahan dalam tubuh organisasi militer Indonesia. Namun, beberapa peristiwa yang melibatkan anggota militer selama dua dekade terakhir menunjukkan masih ada jejak-jejak pengabdian terhadap kekerasan oleh para abdi negara kita. Si loreng hijau terkadang masih ikut turun ke jalan saat aksi demonstrasi, menjaga keamanan dengan terjangan dan pukulan untuk para demonstran. Sementara di sela-sela kesibukan latihan, mereka pamer kekuatan di hadapan para perempuan melalui obrolan di ruang maya, atau di depan sanak saudara dan para tetangga dengan memakai seragam dinas lengkap saat kondangan.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana bisa terjadi pengabdian atas kekerasan dalam tubuh organisasi militer dan terus terwariskan selama berpuluh-puluh tahun? John Chang Hoon Lee melalui tesisnya berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat kembali sejarah terbentuknya militer Indonesia yang dimulai dari PETA (Pasukan Pembela Tanah Air). Penelusuran yang dilakukan John Lee terhadap pola latihan serta nilai-nilai yang diusung oleh PETA seakan mematahkan semua gambaran dalam kepala saya tentang heroisme pasukan tersebut yang dibentuk oleh pendidikan sejarah yang saya peroleh selama sekolah. Para anggota PETA dilatih dengan sistem yang digunakan di tentara Kekaisaran Jepang dan dicekoki dengan nilai-nilai patriotisme ala Jepang yang cenderung mengarah ke keberanian tanpa batas, yang pada titik tertentu membuka ruang untuk terjadinya tindak kekerasan.

Kemudian, setelah kemerdekaan Indonesia, cukup banyak prajurit PETA yang menduduki posisi-posisi penting di organisasi militer Republik atau TNI. Kedudukan mereka bertahan dalam waktu yang cukup lama, bahkan sebagian melampaui tahun 1965 ketika peristiwa G30S terjadi. Dalam perjalanannya memang dilakukan upaya-upaya reformasi dalam tubuh TNI, tetapi menurut pengamatan John Lee hal tersebut hanya terjadi pada lapisan luarnya saja dan tidak menyentuh budaya organisasi yang terlanjur dirasuki oleh nilai-nilai kekerasan. John Lee mampu menjelaskan argumennya secara apik dengan menjadikan pendudukan Timor Timur sebagai contoh kasus.

Menoleh sejenak ke belakang lalu melihat ke sekeliling pada hari ini, khususnya dengan mengingat persaingan tokoh politik pada pemilihan umum presiden tahun depan, membuat kita mau tak mau membayangkan, atau paling tidak bertanya-tanya, kira-kira ke mana arah yang akan ditempuh oleh para abdi negara kita. Militerisme yang kental dan ketat agaknya sulit untuk kembali diterapkan, tetapi akankah mereka menjalani pertobatan sebagai pengabdi kekerasan?

Dhianita Kusuma Pertiwi
Penulis & Penerjemah