BUKU INI ADALAH buku yang asyik untuk dibaca. Dalam suatu obrolan, Fatris MF, penulis catatan perjalan yang tersohor itu, mengatakan Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka tampak seperti catatan perjalanan. Meski begitu, seperti sudah bisa ditebak, ia tidak sudi mengatakan buku karya Heru Joni Putra ini adalah buku catatan perjalanan yang kaffah.
Bagaimanapun, buku ini adalah buku yang asyik untuk dibaca.
Lewat buku ini Heru mengajak kita menemui seorang tentara yang kebingungan setelah mengetahui kenyataan bahwa tentara Indonesia sendirilah yang mengeksekusi Tan Malaka—seorang pahlawan nasional, mengajak mengunjungi makam Tan Malaka di Selopanggung, sampai melihat pernak-pernik di Rumah Gadang Tan Malaka di Suliki. Semua itu disajikan dengan cukup detail sehingga membuat kita lebih dekat dengan situasi dan peristiwa yang coba dijabarkan Heru, sekaligus mendapat gambaran mengenai konteksnya.
Tak hanya mengajak pembacanya bertamasya dari satu tempat ke tempat lain, buku ini juga menyuguhkan cerita-cerita menarik seputar pemindahan makam Tan Malaka, misalnya, kejadian-kejadian mistis yang dialami rombongan panitia pemindahan makam Tan Malaka.
Di samping asyik sebagai bacaan untuk perintang-rintang hari, buku ini sebetulnya adalah bacaan yang cukup serius. Ia membahas apa yang mungkin tampak sepele dan remeh bagi orang banyak, yakni peristiwa pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung ke Suliki, kampung halaman Tan Malaka.
Akan tetapi di balik peristiwa yang tampak remeh itu, Heru Joni Putra melihat sesuatu yang sangat kompleks. Di sekitar (pemindahan) makam Tan Malaka, rupanya ada latar kisah panjang yang berkelindan dengan politik penulisan sejarah nasional Indonesia. Di atasnya, terjadi benturan antar-memori. Semuanya membuat proses pemindahan makam Tan Malaka menjadi peristiwa yang penting dan menarik untuk dibahas.
Tampak rumit memang, tapi karena itulah buku ini menjadi semakin asyik untuk dibaca. Berbeda dengan kajian soal Tan Malaka yang sudah ada, buku ini tidak bicara soal Tan Malaka di masa lalu melainkan berkisah soal bagaimana Tan Malaka diingat pada masa kini.
Dalam buku ini Heru membahas dua jenis memori terkait Tan Malaka yang saling berbenturan itu, yaitu memori negara dan memori kultural.
Memori negara ialah “narasi yang terkait sosok Tan Malaka yang diproduksi secara resmi oleh Orde Baru” (hal. 12). Memori negara ini dibentuk secara vertikal dari atas ke bawah. Pemerintah Orde Baru melalui strategi penulisan sejarahnya membentuk narasi mengenai Tan Malaka sebagai sosok komunis jahat yang harus dimusuhi dan dibenci. Narasi tersebut kemudian disebarkan secara masif lewat berbagai cara mulai dari pendidikan sampai film hingga akhirnya menjadi narasi yang dominan, mapan, dan hegemonik.
Sementara memori kultural ialah “representasi Tan Malaka yang di
arusutamakan dan diperpanjang jangkauannya oleh pihak keluarga melalui serangkaian ritual dan berbagai objek material” (hal. 13). Berkebalikan dengan memori negara, memori kultural dibangun oleh masyarakat dari bawah, ia lahir dari “parstisipasi aktif masyarakat” yang pada gilirannya menjadi penantang memori negara bikinan Orde Baru.
***
SELAMA ORDE BARU berkuasa, narasi-narasi lain yang coba menandingi narasi resmi disingkirkan satu per satu. Salah satunya adalah memori soal Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang coba dibangun oleh rezim Demokrasi Terpimpin. Narasi-narasi alternatif yang mencoba muncul setelah tergulingnya Suharto juga tidak berarti banyak untuk menandingi hegemoniknya memori negara. Pelarangan pertunjukan seni serta penyitaan-penyitaan buku terkait Tan Malaka adalah buktinya.
Saat Harry Poeze mengidentifikasi makam Tan Malaka di Selopanggung pada 2007, saat itu pula muncul keinginan untuk memindahkan makam tersebut. Namun, keinginan untuk memindahkannya menjadi sesuatu yang pelik. Meski status Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional tidak pernah dicabut, tetapi memori negara mengenai Tan Malaka sudah demikian kokoh. Di satu sisi, ia adalah Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang semestinya dikubur di Taman Makam Pahlawan. Di sisi lain ia diyakini sebagai komunis jahat yang patut dibenci. Kondisi seperti ini akhirnya membuat pemerintah pasca-Orde Baru yang seharusnya bertanggung jawab mengurus pemakaman pahlawan nasional memilih bersikap pasif.
Pada titik ini, keluarga Tan Malaka dan masyarakat Kabupaten Lima Puluh Kota muncul mengambil inisiatif. Mereka mengusulkan agar makam Tan Malaka dipindahkan ke Pandan Gadang, Suliki. Demi tujuan tersebut mereka membentuk panitia pemindahan makam, melakukan lobi-lobi politik, hingga menggalang dukungan beserta dana. Ini merupakan “kesempatan pertama kalinya bagi keluarga—sebagai pihak yang melakukan pemindahan makam—untuk melakukan kontestasi terhadap wacana Orde Baru yang telah lama meminggirkan sosok Tan Malaka dalam sejarah Indonesia” (Hal. 5).
Bersamaan dengan itu, masyarakat berupaya “menciptakan status otoritatifnya sendiri dalam proses pemindahan makam Tan Malaka” (hal. 120) menggunakan narasi-narasi lokal. Penciptaan status otoritatif itu berarti juga penciptaan narasi alternatif mengenai Tan Malaka yang berbeda dengan narasi ciptaan negara (memori negara) yang—disadari atau tidak—pada gilirannya akan mengontestasi memori negara, di mana dalam memori kultural ini Tan Malaka dihadirkan sebagai seorang datuk, pucuk pimpinan adat kaumnya.
Dalam kata lain, jika memori mengenai Tan Malaka komunis yang jahat dibangun Orde Baru lewat penulisan sejarah dan disebarkan lewat lembaga pendidikan, memori mengenai Tan Malaka sebagai pemimpin adat dibangun melalui ritual Basalin Baju, pembangunan makam Tan Malaka di Pandan Gadang, upacara-upacara, serta rekonstruksi Rumah Gadang kaum sebagai museum Tan Malaka. Itu semua dilihat Heru sebagai “praktik-praktik yang dilakukan […] dalam menciptakan memori kultural untuk mengontestasi memori negara versi Orde Baru” (hal. 51).
Pelaksanaan berbagai ritual dan pembangunan objek material seperti makam juga merupakan “strategi keluarga untuk menstabilkan dan melanggengkan representasi Tan Malaka sebagai Datuk dan Raja Adat menjadi memori kultural” (hal. 80). Pembentukan memori kultural tersebut juga adalah sarana untuk “mendapatkan legitimasi baru bagi Tan Malaka yang telah sejak lama mengalami delegitimasi oleh negara” (hal. 12) .
Lebih jauh, memori kultural pada akhirnya tidak hanya hadir sebagai alternatif atau saingan bagi memori negara, tetapi juga memunculkan berbagai macam ambiguitas. Makam Tan Malaka kemudian menjadi makam sekaligus petilasan; Rumah Gadang kaum Tan Malaka mendapatkan fungsi lain sebagai museum; dan di samping status pahlawan nasionalnya, Tan Malaka juga mulai dilekati dengan status pahlawan lokal.
Heru melihat ambiguitas tersebut secara positif dengan menganggapnya turut “membuka potensi munculnya makna-makna lain” yang lebih luas dari makna yang ditetapkan negara sekaligus “membuyarkan kemandekan makna versi kekuasaan” (hal. 86).
Lantas apakah memori kultural lebih valid dan lebih benar dibanding memori negara? Dalam bukunya Heru tidak punya pretensi untuk memutuskan hal tersebut. Dalam berbagai diskusi mengenai bukunya, Heru juga menyampaikan kalau penilaian salah-benar bukan wilayah Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka.
Lantas suara mana yang akhirnya lebih keras? Suara yang berasal dari memori negara atau memori kultural? Masyarakat atau negara? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya baca sendiri bukunya.
Randi Reimana
(Sejarawan Muda Sumatra Barat)