UMI LESTARI MELALUI  buku pertamanya, Biang Kerok Kenikmatan: Nawi dalam Sinema Indonesia, menawarkan tiga hal yang menarik dalam diskusi kajian film di Indonesia, yakni mempertimbangkan posisi Nawi Ismail dalam peta sejarah film Indonesia, memperkenalkan cara lain membaca tatapan dalam film, dan membahas film komedi secara diskursif. Ketiga hal tersebut Umi lakukan dengan membahas film-film komedi Nawi Ismail yang dibuat ketika masa pemerintahan Orde Baru.

Dalam menelusuri jejak  Nawi Ismail dalam perfilman Indonesia, Umi secara tidak langsung mengurai benang-benang sejarah film, politik, dan kekuasaan yang saling berkelindan. Secara kronologis, Umi menapaki jejak Nawi di setiap masa pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia: pemerintah kolonial Belanda, pemerintah militer Jepang, pemerintahan pimpinan Sukarno, dan rezim Orde Baru pimpinan Suharto. Pada setiap rezim, Nawi mampu menancapkan jejaknya dengan membuat film-film yang memberikan dampak signifikan terhadap  sejarah. Oleh karena itu,  tidak heran jika Nawi mampu berkarier  selama 50 tahun lamanya sebagai seorang sineas yang tidak memiliki pendidikan formal di bidang film. Penelusuran Umi atas  jejak-jejak Nawi menunjukkan bahwa sineas asli Betawi tersebut bukan sekadar sutradara yang mengerjakan  pesanan film propaganda dari pemerintah saja. Namun, ia merupakan seorang sutradara arus utama yang dalam perjalanannya berkolaborasi dengan sejumlah pelawak ternama, antara lain Benyamin Sueb,  Gombloh, dan Ratmi B-29.

Umi kemudian  membahas film-film komedi Nawi dengan menitikberatkan pada konsep ‘tatapan’. Menariknya, Umi menggunakan pendekatan yang  berbeda dengan para pengkaji dan kritikus film indonesia yang kebanyakan menerapkan tatapan dalam paradigma yang ditawarkan Laura Mulvey pada 1970-an. Umi berupaya  menerapkan konsep yang ditawarkan Todd McGowan dalam bukunya The Real Gaze: Film Theory After Lacan (2007), yakni memosisikan tatapan sebagai objek dalam film. Pada  permukaannya, konsekuensi dari  penerapan konsep tersebut adalah  universalitas dan terbebasnya beban narasi kebenaran secara politis. Namun, penerapan lebih mendalam yang dilakukan Umi menunjukkan bahwa film-film komedi Nawi mampu memperlihatkan ideologi yang bekerja di balik film. McGowan dalam bukunya menawarkan penerapan konsep tatapan secara lintas genre, mulai dari film-film yang lahir dari gerakan nouvelle vague sampai film dokumenter. Sementara itu, Umi secara khusus menerapkan konsep tatapan untuk  film bergenre komedi dan aspek komedi dalam film  sehingga memberikan nuansa tersendiri dalam khazanah kajian dan kritik  film komedi.

Aspek komedi menjadi jalan bagi Umi untuk mempertemukan Nawi dengan konsep tatapan ala McGowan. Bila kita perhatikan dalam diskursus publik, pembahasan film komedi sering kali selesai pada penetapan fungsinya sebagai komentar sosial atau kritik terhadap penguasa. Seakan-akan dengan menampilkannya seperti demikian, maka tuntas sudah tugas kritikus film serta genre komedi. Melalui buku ini, Umi keluar dari kejemuan pembacaan yang cukup laten tersebut. Umi membuktikan bahwa komedi dalam film Nawi tidak  hanya menunjukkan intertekstualitas yang diisyaratkan melalui karya-karya  film parodi, tetapi  juga konsekuensi politis baik dalam hal penampangan ideologi dalam film maupun pemosisian Nawi sebagai sutradara.

Buku pertama Umi ini adalah pembacaan film yang segar. Pembacaan terhadap Nawi sebagai pembuat film komedi yang kalah pamor dari  Nya’ Abbas Akup–yang didapuk sebagai Bapak Film Komedi Indonesia–menunjukkan hal-hal yang tersembunyi di balik gelar-gelar besar dan kegagahan narasi sejarah film Indonesia. Kemudian, pemanfaatan konsep tatapan sebagai objek juga menambah perbendaharaan kategori kritis dalam kajian film Indonesia. Poin lain yang patut digarisbawahi, dengan membaca secara lebih dekat karya-karya Nawi, kita semakin tersadar bahwa komedi adalah  genre serba guna, ia tidak hanya menghibur tetapi juga mampu menampilkan bermacam persoalan ideologis dalam film.

Alwin Firdaus
Dosen & Penyunting Biang Kerok Kenikmatan