KAPAN PERTAMA KALI lukisan pertama yang disertai narasi dibuat? Mungkin itu pertanyaan sukar untuk dijawab. Sementara waktu, ahli sejarah menjawabnya dengan penemuan-penemuan sejarah di Tiongkok pada era sebelum masehi. Penemuan seperti ini tentu bisa berubah jika suatu saat nanti ada penemuan lukisan lainnya yang berumur lebih tua dari penemuan saat ini. Di Jepang pada abad ke-12, sudah ada  gambar karikatur yang disertai tulisan narasi dalam bentuk kertas gulungan. Kisah yang ditawarkan karikatur ini biasanya bercerita tentang dongeng fabel. Sampai hari ini karya lukis yang disertai kata-kata terus direproduksi dan berevolusi, dan lebih dikenal dengan istilah manga.

Walaupun terkesan mirip, tetapi komik modern berbeda dengan lukisan Tiongkok yang biasanya dipajang dengan digantungkan di  tembok atau gulungan cerita bergambar kuno dari Jepang yang sekarang disimpan di Museum Nasional Tokyo. Dalam komik ada panel-panel di  setiap halamannya yang bertutur menurut rentetan peristiwa. Sejarah komik modern dengan teknik seperti ini mulai berkembang sekitar abad ke-19 di berbagai belahan dunia. Perkembangan komik tidak terlahir secara linier, sehingga lebih tepat jika sejarahnya dimaknai sebagai bentuk diagram acak mengingat awal perkembangannya yang timbul secara sporadis di sejumlah kawasan.

Pada masa perkembangan buku komik, media cerita bergambar ini dianggap sebagai seni lowbrow atau karya seni massal yang diciptakan untuk kepentingan budaya populer. Keberadaannya berkaitan erat dengan penjualan, memikat, atau bercerita tentang hal-hal yang banal. Komik bukan jenis karya adiluhung seperti halnya lukisan, patung, sastra, dan lain-lain. Komik pada awalnya hanya bercerita tentang hal keseharian yang substansial. Isinya tidak lebih dari karya yang memikat pembacanya dengan gambar dan narasi picisan. Singkatnya, komik awalnya hanya menceritakan hal-hal sederhana yang tidak punya kedalaman mutu, wacana moral, apalagi nilai-nilai estetika.

Lalu apa yang membedakan komik dengan novel grafis? Pandangan umum tentang perbedaan komik dan novel grafis adalah sistem produksinya. Komik dibuat secara berkala–per minggu, per bulan, dwiwulan dan lain-lain–memiliki satu tema utama yang umumnya bisa dilihat dari judulnya, tetapi  tidak memiliki ujung yang pasti. Karakteristik  ini mirip dengan penggarapan sinetron drama yang diproduksi dengan mempertimbangkan dinamika rating penonton. Ketika penerimaan penonton mulai menurun, biasanya  pihak TV yang memiliki hak siar mengambil keputusan untuk mengakhiri tayangan. 

Novel grafis berbeda dengan komik yang tujuannya sangat komersil. Novel grafis biasanya memiliki keutuhan cerita dalam satu karya. Oleh karena itu, novel grafis lebih sering dibuat dalam bentuk bundel atau mini series. Kata ‘novel’ yang disematkan bermaksud memberi gambaran tentang bagaimana novel pada lazimnya tamat pada satu atau serangkaian buku. Istilah novel grafis timbul justru setelah terbit beberapa kisah komik tenar yang memiliki cara bercerita yang tidak berhubungan langsung dengan keseluruhan cerita. Bisa dibilang cerita komik tersebut adalah sebuah interlude.

Contohnya komik Kingdom Come karya Alex Ross dan Mark Waid. Komik ini berisikan tokoh-tokoh superhero DC yang sudah dikenal secara umum seperti Superman, Batman, Green Lantern, Wonder Woman dan lain sebagainya. Hal yang membedakan dari Kingdom Come adalah alur cerita tentang kemungkinan masa depan, suatu masa ketika para jagoan DC ini sudah uzur.

Komik ini diterbitkan secara kanon, atau tidak memiliki kesatuan cerita utama universe komik superhero DC yang lainnya. Terlepas dari segala perbedaan dan kesamaan antara komik dan novel grafis, boleh jadi ini semua adalah taktik dagang semata untuk mengakali perniagaan. Tidak perlu terlalu takut salah untuk menamai kedua istilah ini, pada dasarnya novel grafis adalah komik.

Jika ditinjau dari unsur narasi yang ditawarkan, novel grafis memiliki diskursus cerita yang lebih “berat” daripada komik. Hal ini karena novel grafis tidak memiliki kewajiban untuk bertutur runut seperti halnya komik. Novel grafis bercerita tentang ide lepas yang sesuai dengan tema/judul karya tersebut, misalnya karya Larry Gonick yang terkenal dengan serangkaian karya Kartun Riwayat Peradaban atau novel grafis Sapiens karya David Vandermeulen (co-writer) dan Daniel Casanave (ilustrator) yang mengadaptasi dari buku bestseller dengan judul yang sama karya Yuval Noah Harari.

Novel grafis bisa juga menjadi medium untuk para pembaca filsafat. Contohnya buku Nietzsche for Beginner karya Marc Sautet dan Patrick Boussignac (ilustrasi); serial pepatah populer Inti Kebijakan, Pepatah
Mencius, Pepatah Laozi
karya Tsai Chih Chung. Buku-buku seperti ini cocok untuk para peminat filsafat yang membutuhkan ilustrasi konkret yang mudah dicerna, daripada mereka harus membaca buku-buku tebal filsafat yang sering kali bahasanya sukar untuk dipahami.

Penciptaan novel grafis seperti ini tentu tidak lepas dari polemik menghilangnya ide utama yang terkandung dalam buku asli. Menyadur dalam medium yang berbeda tentu sedikit banyak dapat mengubah makna yang terkandung. Sering kali penyederhanaan ide rumit filsafat seperti ini dianggap dekadensi bagi ide besar Sang Filsuf.

Namun, bukankah mengadakan forum diskusi, seminar, atau simposium yang membahas pemikiran seorang filsuf, tokoh sejarah, naskah, puisi atau syair juga membuka peluang pemaknaan baru? Sering kali kita mendengar para pembaca novel kecewa ketika sebuah novel diadaptasi menjadi film. Misal saja film The Da Vinci Code (2006) yang disadur dari novel berjudul sama karya Dan Brown. Film ini dianggap gagal karena banyak menghilangkan detail pembahasan yang menjadi kekuatan cerita novelnya. Di sisi lain, masih banyak orang yang tidak tertarik untuk menghabiskan waktu membaca novel atau terlalu pusing membaca penjelasan panjang lebar tentang asal mula simbol seperti yang ditulis dalam novel. Penambahan visual memang sering sekali membantu, sekaligus mengunci pemaknaan dalam suatu karya. Semoga para penonton film The Da Vinci Code tetapi belum membaca buku novelnya, mereka bisa menangkap ide besar yang disampaikan oleh novel tersebut, terlepas ketidaksesuaian adaptasi yang filmkan.

Suka tidak suka, alih medium menjadi penting bagi peradaban manusia. Era internet yang segalanya menuntut lebih cepat mengharuskan wacana menjadi objek siap saji yang mudah untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan novel grafis yang disadur, baik dari buku nonfiksi maupun fiksi. Semua memiliki poin plus-minus. Seorang penyadur yang baik tentunya harus bisa melakukan alih medium dengan tetap setia pada ide besar tetapi sekaligus menciptakan sebuah karya yang proporsional sesuai dengan medium barunya.

Eko Priyantoro
Dosen & Ilustrator
Charles Handoyo: Sang Demotivator