Ibe S. Palogai, dengan laku seperti seorang arkeolog dan kepekaan seorang penyair, menyusun esai-esainya bukan sekadar sebagai paparan intelektual, melainkan sebagai praktik kebudayaan yang hidup—menggabungkan pembacaan kota dan pengalaman indrawi ke dalam satu alur naratif yang reflektif. Dengan pendekatan itu, esai-esai ini tak hanya membuka lapisan-lapisan ruang secara personal, tetapi juga kerap memantik diskursus yang lebih luas. Kita akan menjumpai perpaduan antara tubuh yang merasakan dan pikiran yang menggali: dari aroma bambu di Munduk hingga retakan sejarah di Makassar, dari kaset bajakan hingga jejak kolonialisme.
Membaca Berjalan Kaki sebagai Seni ibarat menemani seseorang yang tahu ke mana ia menuju, tetapi tidak terburu-buru untuk sampai. Ia menoleh, berhenti, mencatat, lalu melangkah lagi. Dan seperti halnya kota yang baik, esai-esai ini tidak meminta kita percaya, tetapi mengajak kita tinggal sejenak—untuk mendengar apa yang biasa tak terdengar.
MENGAPA KAMU PERLU MEMBACA BUKU INI?
- Berjalan Kaki sebagai Seni menawarkan perspektif psiko-geografis dalam membaca kota, menggabungkan observasi sosial dengan pendekatan sensoris.
- Ibe S. Palogai mengangkat jalan kaki sebagai medium kontemplasi, dokumentasi ruang, dan pemetaan ingatan—sebuah kontribusi penting dalam wacana seni dan kota.
- Buku ini menyoroti bagaimana kota menyembunyikan narasi-narasi tersisih—dari kolonialisme hingga penggusuran—dan bagaimana tubuh yang berjalan bisa membongkarnya.
- Dengan pendekatan reflektif dan intertekstual, buku ini menempatkan kota sebagai konstruksi sosial yang terus dinegosiasikan melalui pengalaman sehari-hari.
- Dalam diam, pejalan kaki merekam transformasi kota—yang tak selalu berpihak pada manusianya. Buku ini adalah arsip alternatif atas sejarah dan ketidakadilan.