Demotivasi bukanlah sesuatu yang baru. Sejak ribuan tahun silam, sejumlah filsuf telah mengambil jarak dari masyarakat yang terjebak dalam optimisme dan ilusi kemajuan. Diogenes dari Sinope yang hidup sekitar abad ke-4 SM menunjukkan sinisme terhadap orang-orang di sekitarnya dengan mengatakan bahwa mereka telah hidup di luar kehendak alam. Diogenes kemudian mengambil sikap: tinggal di tong, hidup menggelandang, bertelanjang kaki, mengais-ngais makanan–membuat ia dijuluki sebagai “si anjing”. Diogenes beranggapan bahwa kita mesti belajar dari anak-anak dan hewan tentang bagaimana cara hidup yang sejalan dengan alam. “Tidak usah memiliki apa-apa,” kata Diogenes, “karena kecintaan pada uang merupakan sumber kejahatan.”

Pada abad ke-19, Arthur Schopenhauer (1788–1860) menuliskan gagasan pesimismenya dalam beberapa karya seperti The World as Will and Representation (1818) dan kumpulan esai Studies in Pessimism (1851). Menurut Schopenhauer, hidup manusia adalah sebuah kesalahan: kita memenuhi kebutuhan demi kebutuhan hanya untuk menambal rasa sakit yang berujung pada rasa bosan. Menariknya, gagasan Schopenhauer bukan representasi dari semangat zamannya, Romantik Akhir, yang lebih percaya bahwa roh dunia, seperti anggapan Hegel, mengarah pada pencerahan dan rasionalitas. Schopenhauer justru terpengaruh oleh pemikiran Timur yang tertuang dalam Upanishad dan Bhagavad Gita. Pemikiran yang paling menarik perhatiannya adalah Buddhisme.

Wujud kecintaan berlebihan pada uang dan segala usaha “memenuhi kebutuhan demi kebutuhan hanya untuk menambal rasa sakit” hari ini didukung oleh konsep “motivasi”. Konsep motivasi yang dimaksud di sini bukan menunjuk pada dorongan biologis atau psikologis yang dianggap lebih alamiah dan kodrati, melainkan motivasi yang sebut saja, artifisial, yang diproduksi sedemikian rupa untuk mengaburkan tujuan hidup. Motivasi artifisial, misalnya, mengajarkan untuk memercayai sepenuhnya kekuatan pikiran. Rhonda Byrne dalam buku dan film berjudul The Secret (2006), menyebut istilah hukum tarik-menarik (law of attraction) yang sederhananya berbunyi seperti ini: jika kita berpikir positif maka hal positif akan datang, sedangkan jika kita berpikir negatif maka hal negatif juga yang akan datang.

Byrne rupanya bukan orang pertama yang membicarakan perihal hukum tarik-menarik. Ia mengaku terinspirasi oleh The Science of Getting Rich (1910) yang ditulis Wallace D. Wattles (1860–1911). Berikut adalah beberapa gagasan yang diambil dari buku tersebut (dikutip dari versi bahasa Inggris tahun 2007):

Gunakan pikiran Anda untuk membentuk gambaran mental mengenai sesuatu yang Anda inginkan, pertahankan ia dengan penuh keyakinan dan tujuan; dan gunakan kehendak Anda untuk menjaga pikiran tetap berada di Jalur yang Benar (hal. 35).

Semakin mantap dan berkesinambungan keimanan dan tujuan Anda, semakin cepat pula Anda menjadi kaya, karena Anda akan hanya membuat impresi POSITIF atas Substansi, sehingga Anda tidak akan terganggu oleh impresi negatif (hal. 35).

Jika Anda ingin kaya, jangan mempelajari kemiskinan (hal. 36).

Agar terhindar dari kemiskinan, jangan biarkan gambaran tentang kemiskinan memasuki pikiran Anda, tetapi sebaliknya masukkan gambaran tentang kesejahteraan ke dalam pikiran orang-orang miskin (hal. 36).

Menjadi benar-benar kaya adalah kehormatan tertinggi dalam hidup, yang melingkupi segala sesuatu (hal. 39).

Beberapa dari kita mungkin familiar dengan kata-kata semacam itu, yang sering muncul dari orang-orang yang pada masa sekarang disebut dengan motivator. Bukan artinya berpikir positif dan bercita-cita menjadi kaya merupakan hal yang keliru. Hanya saja kita perlu mempertanyakannya kembali. Apakah hal tersebut merupakan sesuatu yang alamiah dan kodrati? Apakah manusia harus seperti itu? Tidakkah sejumlah pemikiran besar dan ajaran agama tertentu justru mengajarkan kita untuk bersikap waspada terhadap semangat berlebihan dalam “merengkuh dunia”? Jika benar bahwa menjadi kaya merupakan kehormatan tertinggi dalam hidup seperti kata Wattles, dan cara untuk mencapainya adalah melalui keinginan sungguh-sungguh untuk menjadi kaya, maka celakalah kita yang setiap hari sudah memikirkan dengan sangat serius dan fokus tentang cara menjadi kaya, tetapi ternyata hasilnya tidak terlalu kaya! Dan karena itu juga, menjadi tidak terlalu terhormat.

Demotivasi mengajak untuk merenungkan ulang: Apakah pola pikir merupakan satu-satunya kunci kebahagiaan? Apakah menjadi kaya memang kehormatan tertinggi? Apakah kesuksesan tidak mensyaratkan kondisi eksternal lainnya (misalnya, orangtua yang sudah sukses atau kenalan orang dalam)? Lantas kenapa jika kita “kalah” dalam persaingan? Bukankah menjadi biasa-biasa saja dan medioker merupakan hal yang sah dalam hidup?

Sekali lagi, demotivasi bukan gagasan baru. Setidaknya, Diogenes dan Schopenhauer sudah memikirkannya duluan dengan mengacu pada kondisi sekitarnya yang mungkin juga dianggap “terlalu motivasional”. Namun mesti diakui, untuk mengkritik konsep motivasi artifisial yang muncul dari para motivator agaknya kurang menarik jika mengacu pada gaya sinisme Diogenes atau pesimisme Schopenhauer yang terlampau muram, yang buku-bukunya disimpan di rak buku filsafat dan mungkin cuma kutu buku saja yang mengunjunginya. Demotivasi berusaha untuk menjadi ringan dan jenaka, dalam rangka mengimbangi konsep motivasi artifisial yang kadung populer dan tampil lewat berbagai kemasan yang renyah seperti buku-buku self-help, video-video pendek, atau kutipan dan meme viral.

Demotivasi mengajak kita untuk, “hiduplah tanpa arah dan tujuan, agar tidak tersesat,” meyakini, “di balik setiap kesulitan, terdapat kesulitan lain yang lebih besar,” dan percaya sepenuhnya bahwa, “kesuksesan adalah kegagalan yang tertunda.” Apakah demotivasi mesti berujung pada kebahagiaan? Tentu saja! Namun, bukan kebahagiaan versi Wattles dan para motivator yang menekankan pada kekayaan (material) yang seolah-olah bisa dicapai melalui kekuatan pikiran, melainkan kebahagiaan yang terbebas dari segala tuntutan untuk mencapai kebahagiaan.  Demotivasi mengajarkan penerimaan sepenuhnya atas kenyataan bahwa banyak posisi tertentu dalam hidup ini yang sudah ada yang mewakili. Mau kaya raya? Sudah diwakili Jeff Bezos. Mau menjadi presiden? Sudah diwakili Jokowi. Mau menjadi filsuf? Sudah diwakili Martin Suryajaya. Terima kasih pada mereka, sehingga tidak perlu repot-repot mengejar posisi yang sama. Kan, jika dia bisa, mengapa harus saya?

Mulai sekarang, renungkan ulang motivasi artifisial di sekitar Anda. Bisa jadi hal demikian hanya akal-akalan bos saja agar Anda mau bekerja lebih keras dengan bayaran yang lebih murah. Seperti kata para personel HRD di manapun di seluruh dunia: “kamu diberi pekerjaan tambahan karena bos percaya sama kamu.” Ingat bahwa jangan-jangan, Anda termotivasi bekerja demi membayar cicilan motor, padahal di waktu yang sama bekerja untuk membayar cicilan mobil bos Anda. Tidak salah bersikap demotivasional dengan fokus bekerja demi mendapatkan uang, karena hanya itulah satu-satunya sistem yang berjalan saat ini untuk tetap hidup. Namun, bekerja tidak perlu dibumbui toxic positivity yang penuh semangat, sementara di baliknya terdapat hasrat untuk mengeksploitasi dan menumpuk kekayaan. Bersikaplah biasa-biasa saja, jadilah medioker, dan tenggaklah obat pahit bernama demotivasi, sehari tiga kali. Mungkin tidak enak, tapi Insya Allah menyembuhkan.

Syarif Maulana
(Penulis)