“Ketika sejarah dibungkam, memori kultural yang bicara”. Ungkapan tersebut diutarakan oleh Heru Joni Putra dalam Bincang Buku Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka, di Agam Jua Art and Culture Café, Payakumbuh, Minggu, (7/11). Tentu saja Heru memiuhnya dari ungkapan Seno Gumira Ajidarma yang terkenal itu: ketika jurnalisme dibungkam, sastra yang bicara.
Menurut Heru ungkapan tersebut bisa memberi gambaran umum isi buku terbarunya, Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka, yang terbit bulan lalu. Dalam Bincang Buku tersebut, Heru menjelaskan bagaimana upaya negara (baca: Orde baru) menciptakan memori negara tentang Tan Malaka dengan menulis sejarah tentang Tan Malaka sesuai kepentingan Orde Baru sendiri. Melalui buku-buku teks sejarah yang disebarkan secara masif, Orde Baru menginginkan Tan Malaka diingat sebagai seorang pengkhianat bangsa. Tujuannya, antara lain untuk menciptakan ingatan bersama tentang Tan Malaka sebagai sepenuh-penuhnya sosok keji dan patut dinista.
Selama Orde Baru berkuasa, memori negara tersebut telah tertanam dengan kuat, bercokol di banyak kepala warga negara Indonesia bahkan sampai hari ini. Dan karena kontrol atas penulisan sejarah yang kuat, memori lain yang berbeda dengan memori negara atas Tan Malaka nyaris tidak mendapat tempat, bahkan disingkirkan. Pembredelan buku-buku, berbagai pelarangan diskusi, pemutaran film, atau peruntujukan teater mengenai Tan Malaka sering kali dilarang. Inilah yang disebut pembungkaman sejarah oleh Heru.
Namun, tak lama setelah Suharto terjungkal, mulai muncul upaya untuk membangun memori lain mengenai Tan Malaka, salah satunya berasal dari keluarga Tan Malaka serta masyarakat Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota—tanah kelahiran Tan Malaka. Masyarakat ternyata memiliki memori berbeda soal Tan Malaka, yaitu Tan Malaka sebagai pemimpin adat dalam kaumnya.
Memori negara yang datang dari atas ke bawah yang cenderung membungkam sejarah tentang Tan Malaka, kini disaingi oleh memori kultural yang datangnya dari bawah, dari masyarakat. Inilah yang dimaksud Heru sebagai memori kultural yang bicara ketika sejarah dibungkam.
Peristiwa pemindahan kubur Tan Malaka secara simbolis dari Selopanggung ke Pandan Gadang, serta dijadikannya Rumah Gadang kaum Tan Malaka sebagai museum, dilihat Heru sebagai bagian dari upaya memori kultural dalam berbicara menandingi memori negara. Kubur dan Rumah Gadang sebagai museum menjadi situs ingatan yang ‘memelihara’ sekaligus menyebarkan memori kultural tentang Tan Malaka sebagai pemimpin adat.
“Kira-kira seperti itulah tawaran berbeda yang diajukan buku saya dibanding buku-buku lain mengenai Tan Malaka. Jika buku lain lebih menekankan pembahasan mengenai Tan Malaka historis, dalam arti pemikiran serta aktivitasnya di masa lalu, maka Suara yang Lebih Keras melihat bagaimana Tan Malaka hari ini diingat dengan cara yang berbeda serta bagaimana ingatan tersebut dimaterialkan lewat kuburan,” tutur Heru pada Haluanpadang, saat dijumpai, Minggu (7/11).
Heru juga menekankan agar upaya dalam membangun dan menyebarkan memori kultural Tan Malaka tidak mengulangi kekeliruan negara yang telah membuat ingatan tentang Tan Malaka menjadi tunggal.
Menurutnya, munculnya memori kultural tentang Tan Malaka, tidak berarti Tan Malaka harus dimaknai sebagai pemimpin adat semata lalu mengabaikan dimensi lain dari Tan Malaka sehingga pemaknaan atas Tan Malaka kembali menjadi sempit.
“Tan Malaka adalah sosok yang kompleks. Memori kultural tentang Tan Malaka, selain muncul untuk ‘mengganggu’ hegemoni memori negara, ia juga hadir untuk memperkaya ingatan tentang Tan Malaka yang selama ini dimiskinkan oleh Orde Baru,” pungkasnya.
Buku Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka setebal 120 halaman dan diterbitkan Footnote Press ini bersumber dari Tesis S-2 yang berhasil dipertahankan Heru Joni Putra di Universitas Indonesia. Buku ini juga merupakan buku kedua Heru Joni Putra. Sebelumnya, buku puisi berjudul Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa (2017) telah terbit dan mendapat sejumlah penghargaan seperti Buku Puisi Terbaik Versi Majalah Tempo 2018, Wisran Hadi Award 2019, serta telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Reportase ini sebelumnya disiarkan melalui haluanpadang.com pada 9 November 2021
Randi Reimana
(Sejarawan Muda Sumatra Barat)