Film merupakan bentuk seni yang berkembang sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Kemampuannya dalam menggabungkan gambar, suara, musik, dan narasi mampu  menciptakan pengalaman audio-visual yang kuat dan menyentuh emosi penonton. Seiring perkembangannya, film tidak hanya hadir sebagai sesuatu yang bersifat ‘menghibur’ setelah itu lekas ‘memudar’. Ada hal-hal di baliknya yang membuat film berusia lebih panjang, entah melalui percakapan dialektis dalam forum diskusi ataupun dalam bentuk tulisan yang merespons film—walau tentu alasan yang membuat sebuah film berusia panjang atau tidak  kembali pada film itu sendiri; apakah ia memiliki nilai seni yang tinggi untuk terus dibicarakan, seperti apa  dampaknya untuk  masyarakat sehingga penting untuk dibahas, atau ia sekadar kitsch yang direspons agar kita dapat menghindarinya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita jawab melalui kajian film. Kajian atas film berfokus untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam film dan kontekstualisasinya dalam kehidupan luar film. Kajian atas film biasanya dilakukan menggunakan perspektif dan pisau analisis dari disiplin ilmu lain misalnya  sejarah, psikologi, atau sosiologi..

Di Indonesia, perkembangan buku-buku kajian film dapat dikatakan tidak begitu signifikan dibandingkan buku-buku yang serumpun, tetapi memiliki pembawaan dan tujuan yang berbeda, misalnya buku tentang film—atau yang kita kenal sebagai  movie tie-in. Movie tie-in–sebagai upaya untuk mendongkrak massa penonton—bisa lebih populer lantaran animo masyarakat terhadap suatu film dan ketertarikan publik untuk menyimak kisahnya secara lebih mendalam  melalui teks. Selain itu, movie tie-in juga bisa menjadi artefak budaya populer dari hasil film yang telah diputar, sehingga membuat pengoleksi artefak merasa bangga—pada suatu masa yang akan datang—karena memiliki buku yang terkait dengan film yang populer pada masanya.

Terlepas dari hal tersebut, saya mendapati bahwa buku kajian film sebenarnya masih mendapatkan apresiasi dari pembaca Indonesia. Hal itu tampak dari masih diterbitkannya, beberapa buku kajian dari tahun ke tahun, sesedikit apapun jumlahnya. Selain itu, terdapat kecenderungan pencarian atas buku-buku terbitan lama di tengah kelangkaan buku-buku kajian film baru, mengindikasikan panjangnya umur relevansi isi dan narasinya (atau sekadar mengoleksinya sebagai bagian dari hasrat kolektor buku langka).

Saya punya pengalaman menarik terkait hal ini. Pada 2017, saya sempat membuat kiriman tentang The Art of Watching Film karya Joseph M. Boggs yang diterjemahkan menjadi Cara Menilai Sebuah Film oleh Asrul Sani dan diterbitkan oleh Yayasan Citra di akun Buku, lalu Buku–toko buku daring yang saya kelola. Sesaat setelah mengunggahnya, banyak pesan yang saya terima, menanyakan harga buku tersebut. Sebenarnya, buku tersebut adalah koleksi pribadi sehingga tentu tidak saya jual. Alasan saya membuat konten tentang buku tersebut adalah  hanya untuk cek ombak, “Apakah masih ada  yang tertarik dengan buku lawas seperti ini?”

Setelah itu, saya mulai melakukan perburuan buku-buku tentang kajian film, mulai dari toko buku loak sampai  toko buku daring. Saya mengumpulkan ratusan buku tentang film yang meliputi teori, kajian, movie tie-in, skenario, behind the scene. Buku-buku ini sudah tidak beredar dari penerbit, sehingga ketersediaannya sangat terbatas; sebagian besar hanya satu eksemplar, sebagian lainnya dua atau tiga eksemplar. Dari kelima kategori tersebut, saya mendapati bahwa ternyata lebih banyak yang menanyakan ketersediaan buku dengan kategori kajian—baik oleh mahasiswa maupun pelaku film.

Hal ini lantas menjadi menarik karena masih banyak yang memiliki ketertarikan terhadap buku-buku tentang kajian film, tetapi ironis di sisi lain, jumlah buku-buku tentang kajian film sangat terbatas. Beginilah jika dibuat ke dalam daftar 10 besar urutan buku yang sering ditanyakan (dimulai dari yang terendah).

10. Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita: Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia, penyunting Kho Gaik Cheng & Thomas Barker, penyunting edisi Indonesia Ekky Imanjaya (Salemba Humanika, 2011)

Buku yang menghimpun tulisan-tulisan kajian tentang film yang sebelumnya telah terbit dalam Jurnal Asian Cinema Vol. 21, No. 2, 2012. Kupasan dalam tulisan-tulisan tersebut bersifat akademis dan mempertanyakan ulang gagasan tentang ‘film nasional’.

9. D.A Peransi & Film, penyunting Marselli Sumarno (Lembaga Studi Film, 1997)

Buku ini berupaya mengumpulkan gagasan dan pemikiran D.A. Peransi tentang film, terbagi menjadi: Teori dan Estetika Film—bagian paling mendasar yang mempertanyakan apa itu film, apa manfaatnya, bagaimana perkembangannya, serta gambaran estetika film Indonesia; Film Dokumenter dan Film Cerita—membahas pemikiran seorang Peransi sebagai pelaku dan pengamat film; Film dan Ekspresi—tulisan-tulisan yang mengulas lahirnya new wave di Prancis, masalah kreativitas dalam film, serta kemungkinan-kemungkinan film dalam kehidupan kampus.

8. Profil Dunia Film Indonesia, Salim Said (Pustakakarya Grafikatama, 1989)

Buku yang disusun dari skripsi Salim Said ketika menamatkan studi Ilmu Sosiologi di Universitas Indonesia ini memberikan kita selayang pandang tentang sejarah film di Indonesia.

7. Membaca Film Garin, Philip Cheah, dkk. (Pustaka Pelajar, 2002)

Berisikan ulasan atas film Garin Nugroho yang ditulis oleh Philip Cheah, Roger Corman, Tony Rayns, Krishna Sen, Seno Gumira Ajidarma, Tadao Sato, Janet Hoskins, David Hanan, dan Bambang Sugiharto. Tulisan-tulisan mereka mengulas dampak dari karya-karya Garin—yang beberapa halnya dapat dikatakan memiliki posisi dalam new wave sinema Indonesia. Buku ini juga menyertakan pandangan Garin terhadap  film-filmnya sendiri.

6. Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Kompas, 2004)

Buku setebal 530+ halaman ini menghimpun tulisan-tulisan JB Kristanto yang sebagiannya berupa kritik film dan sebagian lain reportase tentang dinamika bisnis film nasional. Tulisan-tulisan yang disusun secara kronologis dalam buku ini menunjukkan  perkembangan dan dinamika pemikiran JB Kristanto tentang film dari tahun ke tahun.

5. Pantulan Layar Putih, Salim Said (Sinar Harapan, 1991)

Dalam bukunya ini, Salim Said menyelidiki lebih lanjut tentang aspek-aspek yang terlihat dan tak terlihat dalam perfilman Indonesia. Tulisan-tulisannya tersebut menemukan dampak pengaruh kritik film terhadap penonton dan pertumbuhan perfilman di Indonesia.

4. Gerakan Sinema Dunia: Bentuk, Gaya, dan Pengaruh, M. Ariansah (FFTV IKJ Press, 2014)

Buku yang bertumpu pada aspek historis sinema dunia ini menjabarkan kelahiran dan perkembangan estetika film dari setiap era, seperti sinema bisu, sinema awal, sinema nasional, sinema Hollywood klasik, impresionisme Prancis, ekspresionisme Jerman, montase Soviet, sinema avant-garde: dadaisme dan surealisme, dan lainnya. Persoalan historiografi tersebut menjadi tema utama yang mendominasi diskursus teori film pada periode 1990-an.

3. Psikologi Film, Dr. Matius Ali (Institut Kesenian Jakarta, 2010)

Buku ini menawarkan kebaruan  berupa kajian psikologi film yang jarang dibahas dalam bahasa Indonesia. Matius Ali membahas studi film dari perspektif psikologi yang merujuk pada pemikiran Lacan, Zizek, Kaja Silverman, Sarah Kay, Elizabeth-Edmond Wright, dan Jean-Michel Rabate.

2. Mengupas Film, Usmar Ismail (Sinar Harapan, 1986)

Sebagai sosok besar dalam perfilman di Indonesia, Usmar Ismail hadir dalam buku ini melalui tulisan-tulisannya untuk menguraikan kembali pandangannya tentang film dan perfilman di Indonesia serta di beberapa negara lain.

1. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, Misbach Yusa Biran (Komunitas Bambu, 2009)

Buku ini menempati posisi puncak dengan pertanyaan “Stok masih ada, Kak?” terbanyak. Penulisnya adalah si ensiklopedia film berjalan, si arsiparis, si Anak Sabiran. Dalam bukunya ini, Misbach melacak-membahas perkembangan film di Indonesia, mulai dari masa Hindia Belanda sampai Revolusi Kemerdekaan. Sampai saat ini, buku ini menjadi rujukan sejarah perfilman Indonesia yang cukup komprehensif.

Buku-buku yang masuk dalam daftar di atas masih kerap ditanyakan sampai saat ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Stok masih ada, Kak?”, “Bisa carikan bukunya kah, Kak?”, bahkan “Koleksi pribadinya saya beli aja, Kak, berapa pun harganya” juga pernah terlontarkan dalam kotak masuk di akun Buku, lalu Buku. Namun, daftar di atas tentu tak mengesampingkan buku-buku lain yang juga penting, seperti Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973-1992 (Seno Gumira Ajidarma, 2000), Politik Film di Hindia Belanda (M. Sarief Arief, 2009), Dari Balik Layar Perak Film di Hindia Belanda 1926-1942 (M. Abduh Aziz, 2019), Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (Khrisna Sen, 2009), Merayakan Film Nasional (Adrian Jonathan Pasaribu, dkk., 2017), Menilai Film (Gayus Siagian, 2006), Film, Ideologi, & Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Budi Irawanto, 2017), Film Indonesia Bagian I: 1900-1950 (Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, S.M. Ardan, 1993), Sinema pada Masa Soekarno (Tanete Pong Masak, 2016), Ajang Perseteruan Manusia: Sebuah Kajian Semiotik atas Opera Jawa Garin Nugroho (Kris Budiman, 2016), Kandang dan Gelanggang: Sinema Asia Tenggara Kontemporer (Eric Sasono, dkk., 2007), dan lainnya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah buku-buku tentang kajian film yang terbit di Indonesia hanya berkutat pada daftar di atas? Respons-respons yang saya terima terhadap buku-buku dalam daftar di atas tentu tidak dapat merepresentasikan selera pasar pembaca Indonesia tentang buku kajian film. Kita perlu melakukan riset yang lebih komprehensif dan mengumpulkan data yang lebih detail, lalu melihat berapa judul buku tentang kajian film yang pernah terbit di Indonesia, berapa penerbit yang menerbitkannya, berapa oplah terbitannya, dan seperti apa akses untuk memilikinya.

Terlepas dari hal tersebut, beberapa tahun belakangan ini buku tentang kajian film tetaplah hadir walau perlahan, misalnya Era Emas Film Indonesia 1998-2019 (Garin Nugroho, 2020), Mujahid Film: Usmar Ismail (Ekky Imanjaya, 2021), Politik dan Poetik dalam Sastra dan Film (Prof. Faruk, 2021), Sastra dan Film (Saut Situmorang, 2022), Gender, Muslim, & Sinema: Citra Maskulinitas dan Femininitas Tradisional dalam Film-Film Islami Indonesia Pasca-Orde Baru (Dwiki Aprinaldi, 2022), Memaksa Ibu Jadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer (Annissa Winda Larasati & Justito Adiprasetio, 2022), Ratna Asmara: Perempuan di Dua Sisi Kamera (Umi Lestari, dkk, 2022), Film dan Pascanasionalisme (Seno Gumira Ajidarma, 2023), Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (Himawan Pratista, 2023), dan lainnya yang mungkin luput dari pembacaan saya. Selain itu, Dewan Kesenian Jakarta melalui komite film juga turut menambahkan daftar pustaka kita untuk membaca tentang kajian film yang dapat diunduh secara gratis, seperti Mencari Film Madani: Sinema dan Dunia Islam (Ekky Imanjaya) dan Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012 (editor Hikmat Darmawan & Ekky Imanjaya) dalam Seri Wacana Sinema pada tahun 2019.

Dalam waktu dekat ini, Footnote Press juga akan turut mengisi daftar pustaka terkait  kajian film di Indonesia melalui buku Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia. Buku ini merupakan hasil penggarapan ulang dari tesis Umi Lestari yang membahas tentang posisi Nawi Ismail dalam peta sinema Indonesia dan ulasan Umi atas film-film Nawi yang bertumpu pada konsep ‘tatapan’ Todd McGowan dalam The Real Gaze: Film Theory After Lacan (2007). Sesempit apapun tempat yang dimiliki buku kajian film dalam selera pembaca Indonesia, ia tidak akan pernah benar-benar tertutup.

M. Dandy
Pekerja Buku & Perancang Grafis