SETIAP MEMBACA TENTANG Tan Malaka akan membawa saya pada sebongkah ingatan berdebat dengan seorang kawan melalui media sosial. Topik debat sebenarnya sangat sederhana, tentang Tan Malaka sebagai salah satu bapak bangsa. Buat saya, Tan Malaka adalah salah satu bapak bangsa, sebaliknya, menurut teman satu grup WhatsApp dengan saya, Tan Malaka tidak masuk bapak bangsa.
“Kita tidak bisa menutup mata lho, Tan Malaka itu identik dengan PKI dan kudeta. PKI bagaimana pun tidak punya sejarah yang cukup baik di Indonesia,” demikian ujarnya.
Cukup panjang kami berdebat tentang ini hingga nyaris bersitegang. Saya agak sulit kalau harus meladeni diskusi dalam ruang chat apalagi bertujuan mengubah perspektif seseorang. Dengan kesadaran saya pun teringat, ah, masih ada deadline pekerjaan yang belum saya selesaikan, jadi saya memutuskan tidak melanjutkan debat dan mengendapkan sisa-sisa diskusi dan buah pikir kawan saya yang meresahkan itu.
Penggalan pengalaman itu kembali menguak saat saya membaca Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka karya Heru Joni Putra. Karya Heru ini ada beberapa cerita yang menarik. Menurut saya, buku ini adalah senjata pamungkas untuk melanjutkan perdebatan saya dengan kawan yang berbeda pendapat itu.
Tan Malaka yang meninggal pada tahun 1949 memang tidak meninggalkan jejak, tidak ada yang tahu dia wafat dan lokasi pemakaman. Tak heran jika akhirnya butuh waktu bertahun-tahun untuk menemukan dan mengafirmasi posisi Tan Malaka dalam sejarah bangsa.
Saya tergelitik dengan proses pemindahan makam Tan Malaka yang ditemukan berlokasi di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Makam ini hendak dipindahkan menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, maupun ke Pandan Gadang, Sumatra Barat. Namun semua rencana ini melalui jalan ninja yang berliku. Maklum, TMP Kalibata adalah monumen yang dibangun oleh penguasa narasi sejarah bangsa. Dari penguasa, untuk penguasa. Tidak ada penyambutan yang meriah atas rencana ini dan dengan sendirinya hilang.
Berbeda dengan masalah TMP Kalibata, proses pemindahan makam dari Kediri ke Pandan Gadang ada pro dan kontra yang bersumber dari masyarakat. Pasalnya, masyarakat Kediri tidak menyetujui usulan keluarga Tan Malaka untuk memindahkan makam tersebut ke tanah Sumatra. Warga setempat beralasan, “Tan Malaka sudah menjadi milik masyarakat Kediri.” Alhasil, keluarga pun mencoba meyakinkan warga bahwa yang dipindahkan dari Kediri hanyalah tanah makam sebagai simbol namun jasadnya yang adalah satu-satunya peninggalan Tan Malaka akan tetap beristirahat di Kediri.
Sepertinya benar bahwa kematian memang hanya meninggalkan nama, memori, dan monumen. Dari ketiganya, yang paling besar dampak dan tangible adalah monumen karena bisa dilihat bahkan disentuh. Terlepas dari pro dan kontra akibat bingkai sejarah yang serampangan, Tan Malaka berhasil menorehkan nama dalam hati masyarakat Indonesia sampai sekarang. Sekalipun nama itu abu-abu selama bertahun-tahun, tetapi dia telah mematahkan konsepsi mati yang megah di dunia adalah mati dengan meninggalkan monumen.
Membangun Monumen
Kondisi pro-kontra ini masih sama halnya dengan konteks pengakuan atas jasa-jasa Tan Malaka yang dibungkam cukup lama oleh rezim. Pada tahun 1963 Presiden Soekarno hendak menyematkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada Tan Malaka yang dibunuh oleh tentara. Sayang, Soekarno terlanjur lengser sebelum mencapai cita-citanya memasukkan Tan Malaka sebagai tokoh kemerdekaan RI. Alhasil peletak dasar proyek-proyek kepahlawanan Indonesia adalah Soeharto. Orde Baru sebagai tuan rumah baru atas negeri ini mengganti bingkai sejarah dengan mengemas peran Tan Malaka sebagai si bad boy. Kadang-kadang saya berpikir, Tan Malaka seperti hidup dan mati dalam kemalangan. Tatkala orang berlomba ingin mendapat pengakuan jasa, dia kesulitan mendapatkan hak yang seharusnya.
“Orang kalau hidup di dunia tak perlu membuat monumen, nanti kamu susah kalau mati,” begitu kata kakek saya. Dari kakek saya belajar orang yang membangun monumen diri di dunia berupa kesuksesan hingga kekayaan, hanya akan menimba kesulitan saat menuju kedamaian abadi. Inilah yang saya refleksikan sebagai keindahan dari Tan Malaka. Dia tidak membangun monumen untuk dirinya, tetapi dia membiarkan orang lain mengenangnya dalam nama dan warisan pemikiran.
Jika diberikan kesempatan beradu debat lagi dengan kawan saya, apakah Tan Malaka layak untuk diwariskan kini saya lebih siap. Bagi saya, mengambil posisi mendukung Tan Malaka ibarat berlomba menyusun puzzle, wajah Tan Malaka sendiri adalah sosok yang penuh teka-teki dan ramai asumsi. Selama hidup dia tak berpikir membangun monumen, jadi biarlah kita yang lebih banyak membangun monumen untuk dia dalam karya dan kata-kata.
Gloria Fransisca Katharina Lawi
(Jurnalis Lepas, Content Caretaker MOSI.ID)