SEBAGAI SEBUAH GERAKAN sastra yang jarang dibicarakan dalam peta kesusastraan Indonesia, sastra Melayu Tionghoa memberikan banyak pengaruh pada kebudayaan Indonesia. Penulis peranakan Tionghoa merupakan salah satu pionir modernisme dengan mendatangkan gagasan dari luar Hindia Belanda (selanjutnya disebut dalam tulisan ini sebagai “Hindia”), lewat buku-buku sadurannya.
Pemerintah kolonial Belanda menganggap sastra Melayu Tionghoa sebagai bacaan liar yang tidak layak dibaca maupun diajarkan di sekolah-sekolah. Tidak seperti terbitan Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi, sastra Melayu Tionghoa menggunakan bahasa Melayu pasar yang lebih familiar di kalangan masyarakat Hindia karena merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari. Tema yang diangkat pun beragam, mulai dari roman percintaan, horor, misteri, hingga cerita detektif. Tidak seperti terbitan Balai Pustaka yang harus sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda, sastra Melayu Tionghoa tidak dibebani dengan kepentingan politik sehingga tema yang diangkat seringkali dianggap lebih remeh. Karena hal ini pulalah Sastra melayu Tionghoa termasuk dalam aliran sastra dekaden.
Terdapat sejumlah nama penulis sastra Melayu Tionghoa yang masih cukup dikenal sampai hari ini. Di antaranya adalah Lie Kim Hok yang dikenal sebagai Bapak Sastra Melayu Tionghoa karena memiliki penerbitan sastra Melayu Tionghoa pertama, dan Kwee Tek Hoay yang terkenal karena drama-dramanya, seperti Allah jang Palsoe (1919). Selain itu, ada pula Liem Khing Hoo yang aktif menerbitkan karya-karyanya pada periode 1930-an. Ia menulis banyak roman, cerpen, feature, hingga editorial. Liem Khing Hoo telah menulis sejak 1929 di majalah Liberty yang terbit di Surabaya.
Satu hal yang menarik terkait kiprah kepenulisan Liem Khing Hoo adalah penggunaan nama yang dipakainya untuk menerbitkan karyanya. Ketika menulis untuk majalah Liberty, ia menggunakan nama aslinya serta dua nama pena lain, yaitu Romano dan Justitia. Ia menggunakan nama aslinya ketika menulis saduran, kolom, serta cerpen. Akan tetapi bila cerpennya bertemakan cinta, ia akan membubuhkan nama Romano. Sementara itu, Justitia ia gunakan ketika menulis rubrik opini yang berkaitan dengan peristiwa politik pada masa itu, contohnya ketika membicarakan hak tanah bagi masyarakat peranakan Tionghoa.
Pada 1934, Liem Khing Hoo menjadi pemimpin redaksi majalah Liberty sehingga ia juga menulis editorial untuk majalah tersebut. Di samping kesibukannya sebagai penulis tetap di Liberty, terhitung ia telah menerbitkan lima belas cerita roman di majalah Tjerita Roman sejak 1929 hingga 1940. Setiap bulannya, dalam rentang tahun 1929 sampai 1939, Liem Khing Hoo menulis satu cerpen dan/atau saduran di majalah Liberty. Di samping cerpen dan saduran, ia juga menulis feature dan rubrik ringan lainnya. Tema tulisannya pun beragam. Ia merupakan salah satu dari sedikit penulis yang mengangkat cerita etnografis melalui cerpen-cerpennya, contohnya adalah “Andjasari” yang bercerita tentang masyarakat Tengger. Ia juga menulis saduran cerita Tiongkok, yaitu “Sam Kok” dan “Soe Yoe”. Tidak hanya itu, ia bahkan pernah menulis cerita bergenre horor, salah satunya adalah Bontotan yang terbit pada 1937. Ia juga pernah menulis dua roman yang menyinggung komunisme, yaitu Merah dan Berjuang.
Merah dan Berjuang bukan menceritakan tentang komunisme, tetapi lebih sebagai tanggapan terhadap gagasan komunisme. Hal ini jarang sekali dibicarakan oleh karya sastra Melayu Tionghoa lainnya. Merah dan Berjuang masing-masing membicarakan gerakan akar rumput dari dua etnis yang berbeda, yakni bumiputra dan tionghoa peranakan. Di dalam teks, gerakan yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut ditampilkan lekat dengan ideologi komunisme. Meski demikian, Merah dan Berjuang menolak menyamakan gerakan tersebut dengan gerakan komunis.
Melalui Merah dan Berjuang, dapat kita melihat bahwa Sastra melayu Tionghoa tidak melulu sebagai karya dekaden. Ia juga menunjukkan respons terhadap situasi ekonomi, politik, maupun budaya yang terjadi di luar teks. Meskipun Sastra Melayu Tionghoa dianggap sebagai sekadar bacaan populer, stensil, dan mesum dengan menggunakan bahasa “pasar”, ia juga mampu menjadi semacam kompas pada peta sejarah indonesia yang kabur.
Galuh Sakti Bandini
Penulis, Pengajar