“Kita mungkin pernah mendengar nama Nawi Ismail, meskipun nama “Ismail” yang lain (Usmar Ismail) lebih terkenal,” ujar Eric Sasono membuka ruang DOC Talk di Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, Kamis (7/12/2023). Bersama penulis buku Biang Kerok Kenikmatan: Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia, Umi Lestari, FFD 2023 menyelenggarakan DOC Talk dengan tajuk “Nawi Ismail dalam Sinema Indonesia”. Diskusi ini membahas mengenai penelitian dan pembacaan terhadap film buatan Nawi Ismail dalam buku tersebut.

Nawi Ismail merupakan seorang pembuat film dan sineas Indonesia di masa awal kemerdekaan. Keterlibatannya dalam perfilman Indonesia sudah Nawi mulai semenjak masa penjajahan Jepang dan mencapai puncak popularitas ketika menyutradarai film-film Benyamin Sueb. Dalam catatan Umi, Nawi telah membuat sekitar 60 film fiksi. Namun, yang tidak banyak diketahui, ia juga merupakan pembuat “film dokumenter” yang pada masanya disebut dengan “film berita” atau newsreel.

Dalam sejarah perfilman Indonesia, Nawi selalu diposisikan sebagai sutradara film slapstick. Seperti yang kita tahu, komedi slapstick mendapatkan posisi yang terpinggirkan dalam perfilman Indonesia, lain halnya dengan “film serius”. Dalam penelitiannya, Umi menemukan bahwa Nawi terpapar bibit untuk membuat “film tidak serius” ketika ia bekerja di Java Industrial Film, studio film milik The Teng Chun. Di sisi lain, Nawi juga memiliki pengalaman bekerja di Nippon Eiga Sha (NES), studio film propaganda Jepang yang memproduksi film berita. Inilah yang menjadi dua pijakan Nawi dalam membuat karya-karya populernya pada periode 1970-an. “Kalau kita bedah secara teknis ada disiplin teknis tertentu (dalam film Nawi),” ungkap Umi. Setelah dibedah, dalam film Benyamin Biang Kerok (1972), Nawi menyelipkan kritikan terhadap Orde Baru dan militerisme pada periode 1970-an.

Berbeda dengan Usmar Ismail yang tergabung dalam Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Sidosho), pengalamannya bekerja di Java Industrial Film membuat Nawi bergabung dengan NES. Dalam NES, Nawi bertindak sebagai penyunting gambar. Secara spesifik, ia mengerjakan film Nampo Hodo (1944), film dokumenter propaganda Jepang yang mulanya bernama Berita Film di Jawa. Selain dalam film berita, Nawi juga berkontribusi dalam film Berjoeang (1944), film fiksi yang mengisahkan seorang pemuda yang ingin membela Jepang–sebuah film propaganda pula.

Secara estetika, Nawi yang terbiasa memotong gambar dan menjadi murid Dr. Huyung cenderung menciptakan montase dalam film-filmnya. Berkebalikan pula dengan Usmar yang cenderung menciptakan film dengan dialog-dialog panjang. Nawi lebih akrab dengan bahasa visual ketimbang mengedepankan argumen intelektual. Montase klasik ini pula yang membedakan estetika Nawi dengan estetika film zaman sekarang.

Pascakemerdekaan Indonesia, sineas pro Indonesia membentuk Berita Film Indonesia (BFI) pada 6 Oktober 1945. BFI merekam suasana di Jakarta pascakemerdekaan. Sebelum itu pun mereka juga merekam coretan-coretan “Merdeka!” pada tanggal 17 Agustus dan peristiwa di Lapangan Ikada pada bulan September 1945. Pasca studio NES diambil alih oleh sekutu, BFI menjadi kelompok yang bertugas mendokumentasikan kegiatan Soekarno. Tak banyak nama yang tercatat sebagai bagian dari BFI. Pada masa itu pun, Nawi tergabung menjadi tentara, tapi yang jelas ia masih berperan dalam pendokumentasian audiovisual. Salah satu film BFI di masa itu adalah Gelora. Film ini menceritakan bahwa Indonesia baik-baik saja tanpa kehadiran Belanda.

Beralih dari dokumenter film berita ke film fiksi, Nawi cenderung menggunakan humor-humor slapstick dalam film-filmnya. Khususnya, pada film-film Benyamin Sueb, ia kerap menggunakan olokan tubuh sebagai media melempar humor. Itulah yang menjadi alasan ada jarak estetika yang ditempuh Nawi dengan para sineas zaman sekarang. Terlebih, isu mengenai humor slapstick dan olokan tubuh menjadi isu yang rawan. Di samping itu, Nawi masih pula membawa pengamalannya membuat newsreel dalam film Demam Tari (1985). Dalam film tersebut, Nawi merekam ‘penari-penari kejang’ atau sekarang lebih dikenal dengan breakdance di sekitaran Taman Ismail Marzuki (TIM).

Mengulik seluk beluk Nawi Ismail dalam perkembangan sinema Indonesia tak pernah ada habisnya. Pengalaman dan estetika yang ia pilih dalam membuat newsreel membuatnya lekat dengan montase dan dokumenter. Bahkan, karya-karya fiksinya tak lepas dari paparan estetika tersebut. Diskusi-diskusi lain dalam DOC Talk masih tersedia dan dilaksanakan secara luring dan gratis. Temui informasi terkait melalui laman web Festival Film Dokumenter.

Tulisan ini pernah disiarkan di ffd.or.id

 

Ahmad Radhitya Alam
Penulis