SEBELUM MENJADI SUTRADARA Nawi dikenal pernah bekerja sebagai figuran, aktor, asisten kameraman, pekerja laboratorium, penulis naskah, produser, dan editor film. Dengan kata lain ia dapat disebut sebagai “pekerja serabutan” sebelum akhirnya menemukan ciri khasnya sebagai sutradara film komedi.

Ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa (h.30) mengalami degradasi pasca pergantian kekuasaan Presiden Soekarno. Sineas yang bekerjasama dengan produser film keturunan Tionghoa-Indonesia, juga filmnya yang tidak diproduksi dengan Perfini, dan terkait dengan persatuan seniman Lekra sudah pasti disingkirkan alias tidak akan dibicarakan-pun tercatat dalam sejarah film.

Mereka diantaranya selain Nawi Ismail adalah Bachtiar Siagian, Ratna Asmara, dan Tan Sing Hwat. Ya, ia dianggap “sebelah mata” karena Nawi berkarya di awal karir bersama The Teng Chun (h.30) dan film-filmnya tak diproduksi Perfini.

Nawi yang jejaknya cukup panjang dan sezaman dengan Usmar, bukan berarti ia tak pernah bersinggungan dengan tokoh itu. Nawi pernah diajak Usmar Ismail bergabung ke dalam Perfini yang didirikannya (h.24).

Tapi ia menolak dengan alasan “belum melihat masa depan cerah”. Barangkali secara sadar, pilihannya bergabung dengan Persari saat itu cukup beralasan, apalagi perusahaan film milik pengusaha kaya Djamaluddin Malik itu bersedia mengirim anak buahnya ke luar negeri untuk belajar film.

Ketika Nawi bergabung dengan Persari milik Djamaluddin Malik (bersama Rempo Urip yang juga saat itu tergabung di Persari) dikirim ke LVN Pictures di Manila. LVN saat itu cukup modern dan memiliki laboratorium pewarnaan film terbaik di Asia Tenggara. Nawi mendapat banyak ilmu soal editing dan proses film. Urip mendapatkan ilmu penyutradaraan dan pengetahuan teknis mengolah film di laboratorium.

Tak hanya itu, Urip pada 1952 membuat film berwarna pertama Indonesia “Rodrigo de Villa” yang merupakan saduran film Filipina. Sayang, hingga kini data tentang film yang dikerjakan di Persari setelah Nawi kembali dari Manila belum terlacak, sama halnya dengan karya Urip yang juga dikenal sebagai pembuat film berwarna Indonesia pertama.

Lewat film komedinya yang beredar di era Orde Baru, Nawi tak sekedar mengkritik cara pandang masyarakatnya, melainkan memainkannya secara sarkas dan satire. Ratu Amplop (1974) mengangkat masyarakat hobi menyogok di tengah kampanye anti korupsi (di film ini dalam kontes Ratu Kecantikan).

Benyamin Tukang Ngibul (1975) mengangkat masyarakat kota yang tampak modern tapi masih percaya takhayul, terutama bikinan Benyamin sebagai tukang obat keliling. Tentu saja masih relevan di zaman kini ketika semua orang memiliki gawai canggih, masih banyak juga yang percaya hoax.

Samson Betawi (1975) mentertawakan kelas sosial masyarakat antara “kampung” dan “gedongan”- hal serupa terjadi pada Mana Tahan (1979) yang merupakan debut film grup lawak Warkop semasa masih bersama radio Prambors – beranggotakan Dono, Kasino, Indro, dan Nanu.

Meski dianggap sekedar film komersil, Nawi ternyata punya ideologi. Hal itu ia nyatakan di buku ini dalam cuplikan artikel wawancaranya (h.36) di koran Pelita, 29 Desember 1979: “Film Cepat Jadi Bukan Film Kompeksi” yang menyatakan ia mampu membuat film cepat jadi namun hasilnya berkualitas.

Sebuah ikhtiar mulia penulis buku ini mengangkat tokoh minor dalam perfilman Indonesia ini. Situasi yang senantiasa berkembang dari era pasca Reformasi dengan Orde Baru menghasilkan pula perubahan sudut pandang dalam membaca dan meneliti sejarah. Buku ini seolah menyerukan kembali lontaran sejarawan Amerika, Lewis W.Spitz di bukunya “God and Culture” : “sejarah bukan sekedar riwayat masa lalu, melainkan juga pancaran masa depan.” **

Tulisan ini pernah disiarkan di tinemu.com pada 16 Januari 2024

Donny Anggoro
Penulis, Pengelola Toko Buku dan Musik Bakoel Didit