Seri diskusi di Blooks merupakan kali kedua saya membahas kumpulan puisi Teori Penciptaan Waktu & 37 Puisi Lainnya karya Hamzah Muhammad (Endnote Press, 2023). Kali pertama sewaktu diskusi yang diselenggarakan oleh penerbit buku itu di Malang pada November 2023 lalu.
Sama seperti saat diskusi kali pertama, saya ingin sedikit meromantisir bagaimana perjumpaan pertama saya dengan draft awal naskah buku ini, waktu masih berupa fotokopi dan beberapa bagian puisi belum tergabung di dalamnya.
Seperti biasa, Hamzah punya kelakukan mengirimkan draft karyanya, meski belum rampung sebagai buku, kepada beberapa kawan yang ia percayai dapat memberikan masukan sebelum diteruskan menjadi buku utuh. Persis sepertinya saya menerima draft awal Hompimpa Alaium Gambreng (Penerbit Anagram, 2022), draft awal Teori Penciptaan Waktu & 37 Puisi Lainnya saya terima dibarengi semangat kebahagiaan Hamzah, bahwa ia telah menyelesaikan draft yang terasa sudah seperti sebuah buku ‘utuh’. Tapi situasi pengerjaan draft Teori Penciptaan Waktu berbeda dengan kumpulan puisi sebelumnya. Draft buku tersebut saya terima dibarengi dengan cerita, “aku menyelesaikan naskah ini dalam waktu cepat sambil menanti proses kelahiran anak,” kira-kira begitu pengantar Hamzah.
Sebagai seorang ayah, pernah merasakan dan berada pada situasi tersebut, saya merasakan bahwa proses pengerjaan draft tersebut adalah anugerah. Sebuah kekuatan yang mungkin tidak akan bisa dijemput lagi di lain waktu. Hanya dalam kondisi penantian itulah draft tersebut dapat hadir dan selesai–waktu itu judulnya baru Teori Penciptaan Waktu dan belum termasuk 37 puisi lainnya. Berusaha menjemput energi yang dirasakan Hamzah, dan pernah saya rasakan sebelumnya, saya membaca draft awal kumpulan puisi Teori Penciptaan Waktu dengan memulangkan setiap bagian puisi tersebut ke dalam diri saya.
Sebuah Kekaguman pada Proses Penciptaan
Pembacaan sayasederhana sekali. Pembacaan ini juga sekaligus tanggapan saya pada saat diskusi di Malang, ketika beberapa teman berusaha menarik penafsiran puisi-puisi Hamzah ke ragam teori sains, sehingga sebelum membaca puisi dalam buku tersebut pikiran kita didorong dan didahului oleh beban berat — bahwa hanya dengan memahami ragam teori sains kita bisa masuk ke dalam puisi-puisi Hamzah.
Pada bagian ini, sebagaimana pembacaan sederhana saya, ada kesan lain dan berbeda yang saya terima ketika membaca secara perlahan kumpulan puisi Teori Penciptaan Waktu. Saya malah merasa bahwa Hamzah berupaya menarik semesta besar, khususnya terkait teori penciptaan, ke dalam ruang lebih sederhana dan intim. Ia mungkin menuliskan beberapa fragmen puisi berjudul “ledakan besar” atau diistilahkan Big Bang, mengenai bagaimana semesta terbentuk. Namun tapi setiap kali Hamzah berupaya menafsirkan “ledakan besar” sebagaimana keluasan semesta, setiap kali itu pula ia berupaya menarik tafsirnya untuk lebih dekat ke ruang paling intim, mulai dari upaya aku-lirik mengenali tubuhnya sendiri hingga orang-orang di selingkarnya.
Dalam beberapa puisi, kita akan dapat melihat dan mengesampingkan, bahwa beban-beban sains yang ditanggungkan adalah upaya untuk mencapai kesederhanaan. Pada puisi berjudul “ledakan besar”, misalnya — terdiri dari fragmen 1 sampai 5 (hlm. 1, 4, 18, 38, dan 62)–pembaca akan dapat melihat seberapa jauh pun tarikan sains secara teoritik diupayakan membekap puisi, tarikan itu kembali pada hal-hal terdekat dari aku-lirik (dan dekat dengan kita).
Pada puisi “ledakan besar 2”, jika ini merupakan pertautan pada puisi “ledakan besar 1”, maka kita akan dapat membaca betapa dekatnya peristiwa puisi tersebut dengan tubuh kita sendiri. Ia berbicara tentang “rahim ibu”, “nasab”, “moyang”, “kematian”, “usia”, meskipun bertaut dengan istilah (frasa) “tahun beratus juga”, “bintang jatuh”, “sinar jauh”, “gelap nan susut”, dst.
ledakan besar (2)
pulanglah kau
kepada mustahil
ke rahim ibu
jagad nasabmu
tahun beratus juta
merenik
di lahad moyang
para terdahulu
kelahiran
bintang jatuh
dan kematian lenyapnya
pandanganmu
kau terpantul
sinar jauh
nyari saku membakar
hangus di kulitmu
dari bayang langkah,
kau saksikan–
sekalian memanjang
gelap nan susut
gelap usia
di ujung meredup
pulanglah kau
pada ketiadaan takut
Dari contoh puisi ini kita juga bisa membaca bahwa “aku-lirik” seakan berupaya untuk menjangkau perihal terdekat dengan seseorang (atau sesuatu) yang disebut sebagai “kau”. Di balik istilah yang mungkin akan membuai atau menarik tafsir kita pada pembayangan teori penciptaan semesta, terdapat representasi lain yang sebenarnya dekat dan lekat dengan bagian terdekat diri kita, “rahim” misalnya. Puisi ini seakan menjadikan semesta besar itu sebagai “rahim ibu” yang menciptakan semesta bagi kehidupan sederhana. Kehidupan yang mungkin tidak seluas jagad semesta yang penciptaannya telah diterjemahkan melalui teori Big Bang.
Bersambung…
Tulisan ini pernah disiarkan di Medium pada 13 Januari 2024
Esha Tegar Putra
Penulis, Penyair, Arsiparis