Sejumlah puisi dalam buku ini memperkarakan banyak hal dalam beragam aspek kehidupan dan perjalanan emosional manusia. Buku ini hendak menunjukkan bahwa betapa manusia sungguh rentan, dan bersandar pada puisi barangkali adalah hal yang dapat menguatkan.
“Kumpulan puisi ini mampu menempatkan diksi sederhana dengan tepat, sehingga melahirkan letupan-letupan kemewahan. Saat membacanya, saya merasa turut hadir dalam setiap peristiwa yang digambarkannya. Semua terasa relevan. Penulis telah menunjukkan ketangkasannya dalam menggarap puisi. Kadang penulis menjadi sosok pria yang tegas, kadang pula menjadi begitu lembut tanpa akrobatik kata-kata. “
— Dalasari Pera, Penulis Firman dan Sebiji Apel
“Benar. Nyaris seluruh sajak di dalam buku ini terasa muram. Arifin, sang penulis, menyandarkan kekuatan puitiknya pada pemakaman, kesendirian, dan ketidakpastian. Walaupun begitu, ia tidak sedang meminta diselamatkan. Ia tidak bermaksud mengusir kesedihan yang ia panggil ke dalam sajaknya. Duka adalah hal yang wajar dialami oleh semua manusia, dan karenanya, sajak-sajak ini menjadi penghiburan bahwa kita tidak pernah berduka sendirian. “
— Mariati Atkah, Penulis Selama Laut Masih Bergelombang
“Tubuhmu Tempat Penampungan Duka adalah cara Arifin membaca diri, melihat manusia lain, dan merekam sekitarnya dalam puisi. Membaca buku ini, kau akan menemukan cermin kecil yang cukup untuk melihat pantulan dirimu. Puisi-puisi Arifin segar sekaligus memiliki kekuatan untuk membuat pembacanya menyadari dan mengalami. Arifin menikmati duka, sepi, dan sedih dengan seapa-adanya, tak berlebihan dan tak sekadar. Buku ini perlu ada di tas kerja atau rak bukumu, sebagai pengingat atau bahwa manusia membutuhkan kesanggupan meminta maaf dan kerendahan hati berterima kasih.”
— Ama Gaspar, Penulis Lagu Tidur