BUKU INI MENULISKAN retrospeksi atas kematian Tan Malaka dan persoalan-persoalan yang justru terjadi setelah Ibrahim Datuk Tan Malaka dimakamkan dan ketika makamnya hendak dipindah dari Kediri, Jawa Timur ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Menarik karena penulis buku ini menggambarkan bagaimana pertarungan soal memori kolektif terjadi.

Dalam memori kolektif negara, sosok Tan Malaka adalah tokoh komunis, dianggap sebagai pengkhianat, mati misterius, diberi gelar pahlawan, tapi kontroversi yang melingkarinya tak pernah dituntaskan oleh negara. Sejumlah film menggambarkan Tan Malaka yang ‘pengkhianat’ ini. Sementara itu sejarawan dari Belanda, Harry Poeze, menghabiskan lebih dari separuh hidupnya sosok satu dari empat founding fathers Indonesia (bersama Sukarno, Hatta dan Sjahrir).

Sementara itu memori kolektif dari masyarakat di Sumatera Barat, Tan Malaka tokoh adat, tokoh lokal yang dihormati karena itu menggenggam gelar Datuk di tangannya. Jadi memori kolektif negara dilawankan dengan memori kolektif masyarakat Sumatra Barat.

Buku ini menggambarkan dengan detail serta runtut terkait polemik pemindahan makam dari Jawa Timur ke Sumatra Barat. Ada bagian yang agak menggelikan sebenarnya, ketika sebuah peti peninggalan Tan Malaka hendak juga diangkut ke Sumatera Barat menghasilkan sejumlah peristiwa aneh. Bis atau mobil manapun hendak mengangkut peti ini dilanda oleh mogok, padahal bis atau mobil itu adalah kendaraan yang masih sangat layak dan telah diperiksa kelayakannya untuk bepergian jauh.

Satu demi satu mobil mogok dan peti pun berpindah ke kendaraan lain, dan mogok pun menular. Tentu saja segala tafsir mistis pun jadi muncul ke permukaan. Tambah menggelikan karena dalam hidupnya Sang Datuk adalah orang yang sangat rasional. Penulis Materialisme–Dialektika–Logika (Madilog) itu sangat anti pada hal-hal yang mistis, irasional. Ia menempuh hidup dengan kesulitan-kesulitan. Dikejar-kejar polisi berbagai negara, berganti nama berkali-kali. Toh setelah ia tak lagi hidup, malah muncul hal yang mistis tersebut.

Di luar itu hidup Tan Malaka memang kerap disalahpahami, atau disengaja untuk disalahpahami. Doktrin “komunis = pengkhianat”, sebenarnya harus diperiksa lagi secara ketat terutama dalam konteks di mana Tan Malaka hidup. Betul bahwa Tan Malaka pernah menjadi anggota PKI, tapi ia tak menyetujui pemberontakan 1926 yang gagal itu. Lepas dari soal gagal, pemberontakan kala itu ditujukan pada pemerintah kolonial Belanda. Jadi, Tan Malaka juga adalah pejuang kemerdekaan, sama dengan tokoh lain dari aliran agama ataupun nasionalis.

Dan pemberi cap pengkhianat itu tentu saja adalah Orde Baru, dengan pimpinan militeristik dan menganggap seluruh tokoh komunis adalah pengkhianat. Klaim kejauhan ini perlu harus diperiksa dengan hati-hati. Seperti ditunjukkan oleh penulis bahwa setelah berselisih dengan PKI pada era akhir 1920-an, Tan Malaka sempat mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) walaupun tak bertahan lama. Tetapi corak nasionalisme lebih mewujud dalam partai ini daripada ideologi komunis. Oleh karenanya membaca Tan Malaka memang harus hati-hati.

Tan Malaka pernah mengatakan bahwa dari dalam kubur, suaranya akan berteriak lebih keras, dan kelihatan itu nujum yang jitu darinya. Buktinya hingga hari ini, Tan Malaka terus disalahpahami, termasuk oleh tentara yang melihat penulis hendak mengunjungi makam Tan Malaka di Sumatera Barat. Dengan kenaifan gara-gara kurang baca ia berkesimpulan “Ga mungkin tentara akan menembak pahlawan nasional” padahal Tan Malaka dibunuh tentara dalam masa revolusi setelah Indonesia merdeka, dan berpuluh tahun kita lupa soal dimana Tan Malaka dieksekusi dan dimakamkan.

Sebenarnya saya membacanya dengan malu, ketika dituliskan dalam buku ini, seorang sejarawan seperti Harry Poeze, menjadi salah satu pihak yang memastikan soal lokasi makam Tan Malaka di Kediri, dan meminta agar pemerintah Kediri mau memberikan kesempatan agar makam Tan dipindahkan ke Sumatera Barat, kampung halamannya. Mengapa butuh sarjana asing untuk memastikan keberadaan makam seorang tokoh nasional, dan membutuhkan penjelasannya untuk kemudian memindahkan makam tersebut.

Lepas dari soal makam di atas, buat saya yang lebih penting adalah bukan soal mengunjungi makam Tan Malaka yang diperkirakan bisa menjadi salah satu sasaran wisata sejarah untuk Sumatra Barat, tetapi bagaimana kita hari ini terus membaca karya-karya para founding fathers tersebut, sembari terus mencari kontekstualisasinya. Mari kita bantu dengan pertanyaan kuncinya: Apakah cita-cita yang disampaikan oleh para founding fathers itu hari ini (setelah 75 tahun merdeka) sudah tercapai? Betulkah penjajahan hari ini sudah selesai? Ataukah kita berpindah dari penjajahan satu ke penjajahan dalam bentuk lain? Nah, mungkin itu yang bisa kita renungkan setelah kita menyelesaikan halaman terakhir buku ini.

Ignatius Haryanto
(Pengajar Jurnalistik)