Buku berjudul Makam Tanpa Nama  (2024), yang menjadi pemenang 2000 Early Career Book Prize, ASAA (Asian Studies Association of Australia), dibuka dengan catatan penerjemah (Dianita Kusuma Pertiwi) tentang sebuah batu, salah satu koleksi Museum Brawijaya, Malang, yang tersimpan rapi dalam kotak kaca. Sebuah kalimat deskriptif tertulis menerangkan batu itu pernah digunakan untuk memukul kepala gembong PKI di Blitar Selatan sampai tewas pada operasi Trisula.

Batu tersebut menjadi saksi bisu atas terjadinya eskalasi kekerasan terhadap mereka yang dicap sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-Gerakan 30 September 1965. Pertanyaannya kemudian adalah berapa banyak di antara kita yang mengetahui dan mengingat peristiwa yang merenggut nyawa ratusan ribu orang tersebut? Ataukah sebagian dari kita telah terjangkit penyakit amnesia sejarah?

Terhadap amnesia sejarah ini mengingatkan kita pada pernyataan Prof Kiichi Fujiwara, seorang ahli politik internasional dari Universitas Tokyo Jepang. Menurut dia, ingatan tentang perang di antara bangsa-bangsa di Asia (di luar Jepang) gagal merepresentasikan makna penderitaan mereka. Para korban dari China, Filipina, dan Indonesia memberikan simpati kepada hibakusha (korban bom Hiroshima dan Nagasaki), tetapi mengesampingkan penderitaannya sendiri (Hartiningsih, 2006). Pernyataan Prof Fujiwara seperti menampar wajah kita yang pelupa, tetapi pendendam. Dan buku yang ditulis oleh Vannessa Hearman merupakan ikhtiar untuk melawan lupa, melawan amnesia sejarah yang telah menjadi penyakit bangsa besar ini.

Amnesia sejarah, seperti kata Ramadhan (2022) sangat berbahaya, bukan saja menggerogoti integritas moral dan intelektual kita, melainkan juga menjadi dasar bagi kejahatan yang terentang pada masa depan. Pada satu sisi, kata Ramadhan, kita boleh saja marah atas invasi Rusia ke Ukraina, kejahatan Israel atas Palestina, mengecam kamp konsentrasi muslim Uyghur, dan bersimpati terhadap diskriminasi hak-hak muslim di India. Akan tetapi, lanjut Ramadhan, kita seakan-akan amnesia bahwa bangsa ini tumbuh dari berbagai peristiwa kelam nanberdarah, pergolakan, pemberontakan, dan perang yang meminta ribuan korban jiwa, konflik horizontal hingga pelanggaran HAM berat seperti korban kekerasan pada mereka yang dicap sebagai anggota dan simpatisan PKI tanpa melalui pengadilan.

Peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia, khususnya pasca-Gerakan 30 September 1965 tentu tidak dapat dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri atau peristiwa tunggal, tetapi terjadi karena pengaruh berbagai faktor, baik sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, bahkan agama. Oleh karena itu, saya sependapat dengan Robert Cribb dari Australian National University yang mengatakan bahwa, ”Ketika penumpasan k(o)munisme oleh Angkatan Darat menyapu seluruh Indonesia setelah 1965, Jawa Timur menjadi kawasan pertahanan yang paling terakhir dan paling gigih.

Penceritaan Vannessa yang mengharukan tentang perlawanan, upaya bertahan hidup, dan cerita kehilangan mengungkap keterkaitan yang kuat antara Partai K(o)munis Indonesia dengan kehidupan politik di Jawa Timur dan perubahan yang terjadi karena supresi militer” (hlm ii).

Hal inilah yang mendasari Hearman menghabiskan lebih dari seratus halaman untuk mengupas tentang proses terbentuknya Partai Komunis Indonesia, baik pertumbuhan, tekanan, maupun kekacauan yang menyertainya (hlm 1-104). Lima bagian lain dari buku ini menjelaskan (1) pembunuhan dan penangkapan mereka yang dianggap anggota atau simpatisan PKI di Jawa Timur; (2) kehidupan dari pelarian para korban sebagai upaya bertahan dari penghancuran; (3) Blitar Selatan sebagai basis perlawanan; (4) Blitar Selatan selama dan setelah operasi Trisula; dan (5) kesimpulan.

Dalam penelitian, Hearman mengandalkan wawancara sejarah lisan. Penggunaan metode ini didasarkan atas beberapa alasan, antara lain, (1) terbatasnya dokumen sejarah yang berkaitan dengan represi antikomunis oleh pemerintah serta pengalaman penyintas; (2) riset ini berfokus pada strategi bertahan hidup yang diterapkan oleh orang-orang Kiri dan aktivitas rahasia yang berkaitan dengan strategi bertahan hidup itu jarang sekali ditemui; (3) para penulis dokumen sejarah sering kali mengistimewakan sejumlah peristiwa yang memiliki signifikansi sosial besar, sehingga menghilangkan aktivitas-aktivitas di ranah privat seperti yang melibatkan keluarga, perempuan, dan anak-anak (hlm 48-49).

Melalui sejarah lisan itulah, Hearman berhasil ”menghidupkan” kembali kisah perjuangan mereka yang dianggap Kiri, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan politik mereka. Dalam studi Hearman yang sangat teliti, disimpulkan tiga cara yang ditempuh oleh para penyintas untuk ”cari aman”—sebuah istilah yang banyak digunakan oleh para penyintas ketika diwawancarai. Ketiga cara tersebut adalah (1) pergi ke kota untuk tinggal bersama anggota keluarga; (2) meninggalkan rumah serta keluarga, teman, dan sekutu politik; dan (3) bergerak di bawah tanah bersama rekan sesama kiri. Sebagian penyintas menggunakan satu atau beberapa cara tersebut selama pelarian mereka.

Mengungsi bukanlah perkara mudah, terlebih jika pengungsian disebabkan oleh persoalan politik yang setiap saat mengancam nyawa mereka. Kekurangan yang parah dan melelahkan menjadi pengalaman yang tidak pernah beranjak dari kehidupan mereka, seperti yang tergambar dalam kesaksian seorang penyintas berikut ini: ”Saya tinggal bersama tujuh perempuan lain. Kalau enggak punya makanan, kami duduk saja. Lalu salah satu nyletuk, ”Kenapa enggak ada yang keluar cari makan.” Salah satu bilang, baik, aku yang keluar. Balik bawa sambal kacang, dia bilang, ”Mek oleh iki, hanya ini yang bisa kudapatkan.” Saya jawab, ”Yo wis, panganen dhewe. Ya sudah, makan saja sendiri.” Makanan itu tidak akan cukup untuk kita semua.” (hlm 190-191).

Di atas hanyalah satu dari puluhan bahkan ratusan kisah penyintas yang dapat kita baca. Kisah lain yang menguras emosi kita tentu masih banyak tersimpan di memori mereka yang mengalami kisah pahit itu. Kisah mereka tidak hanya berkaitan dengan kelaparan dan berbagai kesulitan hidup lainnya, tetapi juga tentang trauma. Suatu hari ketika saya berkesempatan mewawancarai Oie Hiem Hwie—sebelum buku memoarnya terbit—saya menyarankan untuk menuangkan pengalamannya selama ditahan di Pulau Buru dalam bentuk tulisan. Dia menjawab: ”saya masih trauma ketika mendengar suara mesin ketik”. Trauma suara mesin ketik tersebut tentu berhubungan dengan pengalaman beliau saat diintrogasi oleh aparat keamanan.

Saya sependapat dengan Hearman, bahwa Indonesia hari ini mempunyai kesempatan untuk memberikan keadilan bagi orang-orang yang pernah dipenjara—sering kali tanpa diadili—dan bagi mereka yang kehilangan orang-orang yang dicintainya selama pembunuhan antikomunis. Sayang sekali, mantan presiden Joko Widodo tidak berhasil menuntaskan janjinya untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan impunitas dalam program kampanyenya (hlm 305). Kita berharap banyak pada Presiden Prabowo Subianto—yang dalam Kabinet Merah Putihnya terdapat Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM)—dapat menyelesaikan sejumlah persoalan pelanggaran HAM, termasuk korban kekerasan pasca-Gerakan 30 September.

Terakhir, Vannessa Hearman melalui bukunya yang luar biasa telah membantu kita untuk keluar dari jebakan ”penyakit amnesia sejarah” yang mulai banyak diidap oleh masyarakat Indonesia.

Tulisan ini pernah dimuat di Kompas pada 28 Februari 2025 

SARKAWI B. HUSAIN
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga