PENULISAN sejarah kekerasan negara secara jujur dan terbuka merupakan fase pendewasaan paling sulit bagi sebuah bangsa untuk mencapai perdamaian menyeluruh dengan masa lalu demi masa depan yang lebih baik. Sejarah yang jujur akan membebaskan generasi pemilik masa depan dari beban tanggung jawab moral yang selama puluhan tahun ditangguhkan atas nama stabilitas rezim berkuasa dan kepentingan politik sektarian. Dalam hal ini, penulisan sejarah bukan lagi mandala penghakiman untuk menuding siapa-benar-siapa-salah, melainkan pertaruhan total menghadapi waktu yang tidak dapat diputar kembali, di samping usaha pembuktian yang semakin sulit saat para saksi kunci mulai pergi mendahului, meninggalkan senarai pertanyaan tidak terjawab, dan labirin yang kian gelap dalam upaya mengungkap fakta sejarah. Di atas segala-galanya, penulisan sejarah alternatif yang mengakomodasi suara penyintas kekerasan negara adalah kerja bernapas panjang melawan pelupaan, fabrikasi narasi yang menciptakan viktimisasi ganda, dan reproduksi kebenaran tunggal yang berusaha untuk menginvalidasi pengalaman korban, seraya mendistorsi peta pertanggungjawaban, moral maupun yuridis, atas kerugian dan penghancuran yang terjadi.
Praktik-praktik demikian tidaklah terjadi di ruang hampa. Lewat dua puluh lima tahun sejak Reformasi 1998 berhasil menjatuhkan Soeharto dari kepresidenan, upaya menulis kembali sejarah kekerasan negara teah berulang kali dilakukan dan berulang kali gagal akibat hambatan artifisial. Sebagian penyintas yang dapat menyampaikan cerita telah menuliskan memoar dan autobiografi mereka, demikian pula usaha menggugat empat Presiden Republik Indonesia yang tidak memiliki komitmen menyelesaikan kekerasan antikomunis massal 1965-1966 secara tuntas.[1] Walakin, saat beragam versi sejarah itu terkulminasi menjadi tuntutan pertanggungjawaban negara, masalah mendadak kabur dan saling lempar tanggung jawab antara agensi birokratik satu dan lain terjadi. Penangguhan ini mengakibatkan masalah kekerasan negara di Indonesia berakhir antiklimaktik: disingkirkan secara paksa dari ruang publik sebagai manifestasi terorisme negara, menjadi token kepentingan elektoral, bahkan sengaja dihapus dari historiografi resmi demi legitimasi kekuasaan dan pemeliharaan nama baik keluarga politik tertentu.
Usaha penyintas untuk menindaklanjuti kekerasan yang mereka alami melalui mekanisme litigasi terbentur persyaratan bukti dan nama pelaku yang dibutuhkan untuk memulai peradilan. Mekanisme Peradilan HAM yang cacat, diperparah nuansa politis yang pekat daripada semangat menegakkan hukum mengakibatkan perjuangan para penyintas meraih keadilan berulangkali kandas; terperangkap tembok kepentingan politik yang sempit dan picik, payung hukum yang cacat, dan pergantian rezim yang mengumbar retorika harapan walau hanya berujung optimisme hampa. Jangankan menulis ulang sejarah, pembungkaman sistematis para penyintas kekerasan negara yang sudah berusia lanjut menjadi hambatan mereka mempertahankan kebenaran yang seringkali mereka suarakan sendirian, sementara reproduksi algoritma konten sarat konspirasi di media sosial mampu menyebarluaskan manipulasi sejarah jauh lebih cepat daripada kemampuan korban mentransmisikan pengalaman mereka demi pemenuhan tuntutan keadilan sejarah pada generasi berikutnya.
Dalam situasi demikianlah, karya-karya penelitian ilmiah menemukan relevansinya untuk menyintesis pengalaman subyektif korban dan olahan hasil temuan di lapangan menjadi analisis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara metodologis. Karya-karya berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun monograf mempunyai andil yang krusial, tidak hanya sebagai instrumen untuk memverifikasi kesahihan ingatan para penyintas, melainkan juga sebagai dokumentasi yang lebih sistematis untuk penelitian lanjutan maupun bahan-bahan untuk analisis implementasi keadilan transisi di masa yang akan datang. Di samping itu, dengan metode historiografi, penelitian ilmiah menyediakan kesempatan mengingat peristiwa kekerasan sistematis secara adil dan bertanggung jawab, bebas dari kepentingan politik dan upaya membentuk opini publik, serta mengetengahkan kekuatan bukti dan autentisitas hasil temuan di lapangan, alih-alih sekadar cerita turun-temurun yang dipenuhi mitos, sensor, dan pemutarbalikan demi kepentingan mempertahankan legitimasi, nama baik, dan lain sebagainya.
Meski demikian, optimisme tetap mempunyai keterbatasannya sendiri. Sementara jumlah penelitian dan diversifikasi topik penelitian ilmiah tentang 1965 pada aras dinamika konflik lokal mengalami peningkatan, tidak demikian dengan distribusi geografis yang dapat memperlihatkan pola kekerasan. Karya-karya ilmiah mahasiswa Indonesia dari Jawa Tengah, misalnya, meneliti kekerasan secara terbatas di wilayah Karesidenan Surakarta, Salatiga, dan Semarang. Antara tahun 1990-2019, hanya 6 dari 55 skripsi, tesis, maupun disertasi tentang 1965 yang mengangkat topik lokal, dan tidak satupun yang berfokus pada produksi atau dinamika kekerasan—sebagian memilih topik penyintas, ingatan, atau warisan sosiokultural pascakekerasan.[2] Sebaliknya, karya-karya ilmiah mahasiswa Indonesia dari universitas Jawa Timur relatif lebih lengkap dari segi topik maupun sebaran geografis kasus yang terjadi di empat wilayah Komando Resor Militer (Korem); mulai dari Madiun, Banyuwangi, Blitar, hingga Surabaya Raya.[3] Namun, kelengkapan itu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan tentang kekerasan yang luas di Jawa Timur Selatan, perbedaan tingkat kekerasan yang terjadi antara pesisir dan dataran tinggi, maupun pertambahan penduduk di selatan Jawa Timur pada akhir 1966 hingga awal 1967.[4]
Di samping itu, telaah studi kasus kekerasan di aras lokal kerapkali kehilangan konteks di tingkat nasional maupun internasional, menghasilkan pembacaan dan analisis yang mikroskopis dan terputus dari bingkai masalah yang lebih besar. Karenanya, kebutuhan memperluas khazanah sejarah lokal tetaplah membutuhkan penjelasan konteks secara proporsional (Perang Dingin pada tingkat internasional, persaingan antarkekuatan politik dalam konstelasi Demokrasi Terpimpin di pada tingkat nasional, dan kebutuhan partai-partai politik membangun basis massa di aras lokal). Hanya jika studi kasus kekerasan di tingkat lokal memperoleh bingkai konteks yang tepat, maka rangkaian kekerasan dan implikasinya terhadap perubahan sosiokultural masyarakat setempat dapat dijelaskan secara memuaskan, terlebih karena keberhasilan pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia hanya dan memang hanya dimungkinkan karena keberhasilan TNI Angkatan Darat melakukan improvisasi seluas-luasnya terhadap perintah Markas Besar Angkatan Darat Djakarta, mulai dari dalih untuk penangkapan, metode penyiksaan, hingga eksekusi mati dan penghilangan bukti-bukti kekerasan.[5] Karena itu, hanya dengan pengungkapan fakta menyeluruh, rekonsiliasi kekerasan negara di masa lalu dapat memulai langkah awal yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jembatan di Atas Rumpang
Mengatasi tantangan signifikan dalam menyajikan fakta kekerasan secara menyeluruh, lengkap, dan berimbang, Makam Tanpa Nama (selanjutnya: MTN) menginvestigasi situs paling sulit dalam historiografi: ingatan individual yang diekstraksi dengan metode sejarah lisan. Bukan sebagai data pelengkap argumentasi (seperti halnya metode Roosa dalam penulisan buku-buku tentang 1965), MTN merekonstruksi fragmen-fragmen ingatan dan membandingkannya dengan data sekunder. Cara ini memungkinkan ingatan individual itu berkorespondensi dan meresonansikan kebenaran tentang peristiwa itu secara autentik, dengan pelibatan perspektif pribadi yang kuat dari orang-orang yang dikalahkan. Tentu, metode ini tidak dengan sendirinya lepas dari kekurangan tentang kesahihan ingatan yang memudar seiring berjalannya waktu, dan untuk itulah, keberadaan dua bab pertama MTN menjadi penting sebagai pondasi bangunan argumentasi di atasnya.[6]
Dalam kedua bab itu, MTN memperlihatkan dua lokus observasi utamanya: lintasan sejarah gerakan Kiri (dengan ‘K’ kapital) di Indonesia, dan lanskap Jawa Timur di dalam semesta gerakan Kiri itu. Keterhubungan dua lokus tersebut terletak pada sejarah sosial-ekonomi Jawa Timur yang memungkinkan basis-basis gerakan Kiri, buruh dan kaum tani, menemukan substrat yang cocok untuk berakar dan bertumbuh. Perkembangan industri sejak awal abad ke-20, yang seyogyanya menjanjikan potensi kekayaan, tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan penduduk Jawa Timur, bahkan sesudah lewat dua dekade sejak kemerdekaan. Survei tahun 1964 menunjukkan Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan terparah dan pengeluaran per kapita terendah dalam makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Produktivitas sektor pertanian dan perkebunan di wilayah rural dan industri manufaktur di wilayah urban Jawa Timur yang tidak menjanjikan penghidupan sejahtera untuk penduduknya merupakan jalan masuk Partai Komunis Indonesia untuk menggalang dukungan bagi program politiknya, terutama sesudah PKI berhasil mengamankan kursi di Pemilu 1955 dan Pemilihan Daerah 1957. Keberhasilan itu tidak dapat juga dilepaskan dari intervensi Barisan Tani Indonesia (BTI) mengatasi isu kepemilikan tanah di desa-desa, yang sekaligus menjadi ujung tombak PKI meraih dukungan di wilayah rural setelah berhasil menguasai ceruk suara di wilayah perkotaan.
Pilihan BTI melakukan intervensi semacam itu tidak terlepas dari perubahan orientasi BTI berdasarkan hasil pertemuan Dewan Nasional BTI 1955. Pemerintah pusat memberikan dukungan terhadap redistribusi kepemilikan tanah dengan mengesahkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA, yang menetapkan kepemilikan tanah irigasi maksimal lima hektar dan kepemilikan tanah tanpa irigasi maksimal enam hektar. Namun, implementasi redistribusi lahan yang lambat mengakibatkan PKI mendorong BTI melakukan aksi sepihak, dengan harapan bahwa tindakan itu dapat mendorong redistribusi tanah lebih cepat dan adil. Akibatnya, aksi-aksi sepihak tersebut menimbulkan berbagai pertikaian di aras akar rumput, terutama dengan Ansor, sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU) yang membela tuan tanah, karena sebagian besar tuan tanah di Jawa Timur adalah juga rohaniwan (kiai) karismatik yang mengelola pesantren di desa. Eskalasi pengondisian yang memicu perpecahan dan antipati terhadap PKI di wilayah pedesaan, terutama dari tuan tanah dan petani menengah, terkulminasi menjadi sentimen antikomunis yang kuat. Inilah bahan bakar yang memungkinkan kekerasan di Jawa Timur meluas secara eksponensial dalam beberapa pekan sesudah Gerakan 30 September digagalkan.
Mulai Bab 3, MTN fokus menelaah situs utama buku ini: ingatan dan pengalaman individu—para penyintas kekerasan antikomunis, sebagian besar merupakan aktivis gerakan Kiri sebelum G30S. Dalam situs itu, urutan kronologis yang MTN gunakan mendemonstrasikan suatu fluktuasi yang diawali dengan ketidakpastian dan kebingungan di dua pekan pertama bulan Oktober 1965. Ketidakpastian yang secara gradual bertransformasi menjadi sinyal ancaman itu dibaca oleh CDB PKI Jawa Timur sebagai stimulus untuk membangun suatu kampanye defensif, tetapi rencana ini tidak terkoordinasi dengan baik karena instruksi yang simpang-siur antara bertahan dan memulai evakuasi, seperti yang dialami Harsutejo, Soepardjan, dan Rihwantono. Alhasil, ketika gelembung kekerasan skala kecil pada awal pekan kedua meningkat menjadi pembunuhan (yang dimulai di Kediri pada 13 Oktober) yang meningkat menjadi kampanye pemberantasan, lapisan pertahanan PKI terkoyak dengan mudahnya. Faktor komando teritorial Angkatan Darat di Jawa Timur melalui Kodam Brawijaya yang enggan mengambil inisiatif meniadakan PKI menjadi jalan masuk untuk kekerasan yang terdesentralisasi, khususnya karena momentum ini telah lama ditunggu oleh NU dan kiai-kiai pemilik tanah yang terafiliasi dengannya.
Pada 22 Oktober 1965, ketika Pangdam Brawijaya Basuki Rachmat mengeluarkan instruksi larangan sementara untuk PKI di Jawa Timur, inisiatif NU memulai kekerasan mendapat sponsor Angkatan Darat. Kemitraan kedua institusi ini menjadi motor penangkapan, pemenjaraan, dan penghilangan paksa. Pengalaman Wijono, Harsutejo, Pudji Rahardjo, serta Oei Hiem Hwie yang mulai ditangkap dan dijebloskan ke dua penjara besar di Jawa Timur, Lowokwaru dan Kalisosok, mengisi paruh pertama kekerasan. Sesudah kemitraan dengan Angkatan Darat membukakan jalan NU menjalankan pembunuhan, tahap pertama segera dimulai secara demonstratif. Dengan instrumen senjata tajam (golok dan kelewang), jenazah korban yang digorok dihanyutkan ke aliran sungai dalam jumlah besar, atau dipertontonkan di tempat keramaian. Hanya sesudah efek kejut dan teror mencapai tingkatan optimal, tahap kedua “pembunuhan rutin” diteruskan secara tertutup dan senyap, antara lain dengan eksekusi dilakukan pada malam menuju dini hari, dan dilaksanakan di hutan atau kebun jauh dari pemukiman penduduk. Kasus Kediri, tempat Ansor melancarkan pembunuhan dengan restu Kiai Machrus Ali pemimpin Pesantren Lirboyo, maupun kasus Bangil, tempat seorang pejabat pusat NU, Subchan ZE menyatakan dukungan moral untuk pembunuhan, menunjukkan efektivitas dua tahap eksekusi yang memungkinkan pembunuhan menjangkau puluhan ribu korban sampai menjelang akhir tahun 1965.
Berhentinya pembunuhan-pembunuhan menandai babak baru dalam rangkaian kekerasan antikomunis: perburuan, pelarian, dan pengorganisasian resistansi yang bersifat sporadis. Dengan deskripsi yang teperinci, MTN mencatat momentum genting dalam dua paruh tahun 1966, ketika kekuatan politik PKI di tingkat nasional telah lumpuh, menyisakan pemimpin-pemimpin tingkat bawah yang berusaha membangun kembali basis-basis di pedesaan, seraya mereproduksi wacana tentang perjuangan bersenjata. Terdapat keserupaan antara analisis Roosa (2020) dan pendekatan MTN yang melihat bahwa—terlepas dari semua usaha menggalang dukungan—PKI adalah partai politik yang berusaha menemukan tempat dalam arus utama kekuatan politik. Hanya jika Roosa menggunakan istilah “perebutan hegemoni” pada masa sebelum G30S, maka MTN berusaha untuk menggambarkan “perebutan ruang” yang tersisa dari okupasi Angkatan Darat. Kembali ke desa, di satu sisi adalah pilihan yang diambil secara tergesa-gesa, dengan perhitungan seadanya, sedang keramaian di kota memungkinkan individu-individu dalam pelarian berbaur dan menghilangkan diri dari pelacakan. Bulan-bulan yang panjang bagi para pelarian politik ini berlangsung simultan dengan penggerogotan terhadap kepemimpinan Sukarno di Djakarta oleh Soeharto.
Tertangkapnya Sudisman, salah satu anggota Politbiro CC PKI pada Desember 1966 menjadi katarsis para pelarian politik untuk mulai melaksanakan seruan dalam dokumen Kritik Oto-kritik yang terbit tiga bulan sebelumnya. Dengan mengambil inspirasi dari long march Mao Tse-tung di tahun 1930-an, eksponen PKI yang tersisa memilih Blitar Selatan sebagai lokasi membangun basis dari desa bagi agenda perjuangan bersenjata. Keputusan yang mencerminkan fragmentasi intern PKI ini antara lain ditandai dengan pertimbangan pragmatis bahwa Blitar Selatan adalah daerah miskin, terbelakang, terisolir, tetapi loyal mendukung PKI sejak Pemilu 1955. Keberangkatan para eksponen teras PKI secara klandestin; reorganisasi dan persiapan gerilya yang terhalang karena keterbatasan sumber daya dan kondisi penuh tekanan; dan ketiadaan strategi yang berkelanjutan menjadi celah yang memungkinkan insiden-insiden kecil pada akhirnya memicu Angkatan Darat mencurigai, dan bersamaan dengan itu kian saksama mencermati perkembangan desas-desus di kalangan akar rumput, tentang kebangkitan PKI di Blitar Selatan. Barisan Ansor Serbaguna, ujung tombak AD dalam rangkaian pembunuhan pada akhir 1965, kembali berperan penting menjajaki desas-desus ini dengan spionase amatir, tetapi efektif, yang mengonfirmasi desas-desus itu pada Pangdam Brawijaya, M. Jasin, yang segera mempersiapkan operasi kontrainsurgensi bersandikan “Operasi Trisula”.
MTN mendeskripsikan operasi ini sebagai suatu strategi agresif dan ganas, dengan agregasi kekuatan organik berasal dari dalam Angkatan Darat. Ribuan prajurit bersenjata memecah Blitar Selatan ke dalam beberapa zona yang tertutup, dan konsentrasi gelar kekuatan mempergunakan pendekatan serupa dengan cara William Westmoreland menghadapi Viet Cong: lacak dan bantai (search and destroy). Tertangkapnya Suwandi, salah satu eksponen basis, sembilan hari sesudah Trisula dilancarkan pada 31 Mei 1968, disusul dengan pengakuan-pengakuan yang dia sampaikan, memungkinkan operasi berjalan cepat. Secara dramatis, pengeboman dari udara dan penjatuhan selebaran yang menganjurkan penyerahan diri bagi mereka yang bertahan di hutan jati dan gua-gua persembunyian, memungkinkan seluruh pimpinan teras tertangkap dan tertembak pada Juli 1968. Angkatan Darat mengidentifikasi 52 orang sebagai pemimpin basis Blitar Selatan, dengan 22 di antaranya telah terbunuh dalam operasi. Operasi yang berlangsung cepat ini mengirimkan dua pesan sekaligus: bahwa Orde Baru telah terkonsolidasi, dibuktikan dengan operasi militer berhasil dilaksanakan secara rapi; dan bahwa tanpa keterlibatan masyarakat sipil, pembantaian tak perlu meluas sedemikian rupa, seperti halnya terjadi dalam kekerasan pada pengujung 1965 dan 1966. Dengan “hanya” membunuh 2.000 orang, Angkatan Darat membuktikan PKI tidak lagi mempunyai hak hidup di Indonesia.
Penegasan Angkatan Darat berdampak besar untuk perikehidupan penduduk Blitar Selatan yang bertahan di bawah pengasan dan persekusi, karena mereka yang bertahan hidup mendapat perlakuan pukul rata sebagai calon pemberontak. Melalui persekusi tingkat lokal, Angkatan Darat melakukan suatu eksperimen yang menciptakan tirai air (watershed) antara Blitar Selatan sebelum dan sesudah Trisula. Pemaksaan, tekanan, indoktrinasi, dan perlakuan terhadap penduduk Blitar Selatan memperlihatkan cara-cara Orde Baru membangun suatu kepercayaan artifisial—berdasar rasa takut yang opresif, bukan karena keterpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kekorbanan, suatu perasaan kolektif yang tumbuh di kalangan penduduk desa, dikontraskan dengan memori kolektif yang dipaksakan dalam pembangunan Monumen Trisula. Inilah cara yang, dalam istilah MTN, menjadi manifestasi permanen dari trauma dan perasaan kekorbanan kolektif di kalangan penduduk desa. Eksepsionalisme Blitar Selatan sebagai “bekas sarang PKI”, pada akhirnya, bukan suatu mahkota, melainkan jejak humiliasi panjang yang efeknya langgeng hingga bergenerasi.
Mengapa Penting?
Rangkaian kekerasan antikomunis di Jawa Timur sepanjang Oktober 1965 hingga September 1968 merupakan episode umwertung aller werte sepanjang 35 bulan. Melampaui penghapusan sebuah kelompok politik, di Jawa Timur, kekerasan antikomunis adalah usaha menjungkirbalikkan suatu pengalaman politik kelas yang tersusun secara organik, untuk digantikan dengan nilai-nilai baru yang sama sekali asing dan berjarak. Di titik inilah, emansipasi berubah menjadi pembangunan di bawah rezim otoritarian; desa merepresentasikan keterbelakangan, bukan sumber kekuatan; kota adalah lambang kemajuan; dan pemerintah memonopoli semua kebenaran yang hidup dalam hati dan ingatan masyarakat. Sesudahnya, ingatan baru itu kemudian dibakukan, lalu didistribusikan secara masif melalui unit-unit pendidikan dasar dan menengah, dan tidak membutuhkan waktu lama masuk ke dalam historiografi resmi dan buku putih terbitan pemerintah. Tepat pada titik ini, historiografi pun menjadi—meminjam istilah Louis Althusser—ideological apparatus of state yang berintikan suatu kesituasian terdefinisi mutlak tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang baik dan yang jahat. Suatu jurang lebar mengharuskan generasi berikutnya menarik garis api yang tegas antara pahlawan dan pemberontak, dengan kemenangan di titik akhir menentukan semat apa yang layak disandang salah satu di antara mereka.
Rekayasa ingatan yang terabadikan dalam historiografi itu adalah sasaran utama MTN, juga karya-karya ilmiah sejenis yang bertujuan serupa: mendekonstruksi fakta sejarah secara lebih jeli, mengganti perspektif, membaharui interpretasi. Tanpa mesti berpretensi “meluruskan sejarah”—istilah yang paling disukai, sekaligus paling ambigu karena mungkinkah sejarah “bengkok” hanya karena perbedaan sudut pandang?—historiografi emansipatoris yang telah dicontohkan dengan sangat baik oleh MTN menyediakan kesempatan yang sangat baik untuk sebuah bangsa melihat masa lalunya tanpa memberati diri dengan pengotak-ngotakan semu. Menantang ingatan mapan dan resmi pada hakikatnya adalah aktivitas subversif, terlebih jika ingatan itu telah menjadi suatu legitimasi untuk kekuasaan yang bertahan berpuluh tahun lamanya. Namun, kejahatan tetaplah kejahatan. Ia harus diakui, jika tidak bisa dihukum. Lebih dari sekadar pengakuan, memperbarui ingatan merupakan satu-satunya jalan untuk generasi selanjutnya mencegah berulangnya sebuah kejahatan. Hanya jika generasi masa depan sanggup berjanji dan menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM serupa atau lebih buruk, rekonsiliasi dapat dianggap total, tuntas, dan selesai. Temuan dan kontribusi MTN secara penting menggarisbawahi kurangnya khazanah kepustakaan Indonesia tentang salah satu riwayat kekerasan paling menentukan dalam sejarah republik ini, sambil mendemonstrasikan cara ingatan bekerja membentuk masa depan yang seringkali tidak dikehendaki. Sebelum generasi itu harus kembali menanggung beban sejarah demikian besar dan tidak ada jalan putar balik, menyelamatkan ingatan mereka yang sebelum terpaksa mengalami pendewasaan di bawah bayang-bayang kekerasan dan kejahatan tanpa hukuman merupakan tanggung jawab besar yang harus selekas-lekasnya ditunaikan.
[1] Restaria F. Hutabarat (ed.), Stigma 65: Strategi Mengajukan Gugatan Class Action (Jakarta: Yayasan Obor, 2011)
[2] Grace Leksana dan Douglas Kammen, “Karya Tugas Akhir Mahasiswa Indonesia tentang ‘1965’: Sebuah Tinjauan”, dalam Prisma 40, No. 4 (2021): 113–115
[3] ibid.
[4] Siddarth Chandra, “New Findings on the Indonesian Killings of 1965-1966,” The Journal of Asian Studies 76, No. 4 (2017): 1059–1086
[5] John Roosa, Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965 – 1966 di Indonesia (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2024)
[6] Vannessa Hearman, Makam Tanpa Nama: Mati dan Bertahan Hidup di Tengah Kekerasan Antikomunis di Jawa Timur (Semarang: Footnote Press, 2024): 1–104
- Referat ini merupakan bahan diskusi buku “Makam Tanpa Nama: Mati dan Bertahan Hidup di Tengah Kekerasan Antikomunis di Jawa Timur” yang diselenggarakan oleh Kedai patjarmerah Pos Bloc Jakarta pada Sabtu, 23 November 2024.
- Sebagian referat ini telah dan akan terbit dalam tinjauan “Trilogi Martin Aleida: Jalan Lain Meraih Keadilan” dalam Prisma 42, No. 1 (2023): 96 – 103, dan “Menyingkap Jejak-Jejak Kekerasan Negara di Masa Transisi” dalam Prisma 43, No. 3 (2024): xx–xx. Pengutipan referat ini harap mengacu pada dua artikel yang telah dipublikasikan.
CHRIS WIBISANA
Kontributor Reguler Tirto.id